Lihat saja gaya hidup anak-anak akhir-akhir ini, baik di perdesaan apalagi di perkotaan. Mereka cenderung berprilaku dan bertutur seperti layaknya para selebritis. Rambutnya dipangkas gaya Mohawk, daun telinganya dipasang giwang, setelan jean belel, dan gaya berjalannya meniru para pemusik rap, sesekali mempertontonkan jari tengahnya. Ketika ditanya arti dan makna gaya seperti itu, umumnya mereka tidak tahu. Paling sering anak-anak itu menjawab: ya, seperti orang-orang di tivi itu.
Benar seperti ditulis Wawan Kuswandi tentang 3 dampak yang ditimbulkan akibat menonton televisi. Pertama, dampak kognitif, yaitu kemampuan pemirsa untuk menyerap dan memahami acara yang ditayangkan televisi yang melahirkan pengetahuan bagi pemirsa. Kedua, dampak peniruan, yaitu pemirsa dihadapkan pada model yang sedang aktual sehingga pemirsa ikut-ikutan untuk mencontohnya. Ketiga, dampak prilaku, yaitu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya yang telah ditayangkan acara televisi yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari para pemirsa.
Dewasa ini, tantangan terberat dari ketahanan budaya keluarga bukan hanya televisi, tetapi gadget dan internet yang didalamnya ada sejumlah media jejaring sosial. Dengan gadget misalnya, semua orang --termasuk anak-anak dibawah umur-- bisa mengakses informasi yang tidak terbatas. Informasi itu memang ada yang positif, tetapi tidak sedikit yang negatif seperti pornografi dan ajaran menyesatkan.
Acara-acara televisi nasional biasanya tidak terlalu vulgar. Lebih-lebih televisi ditonton bersama di ruang keluarga sehingga acaranya dapat dipilih yang lebih edukatif. Sebaliknya, gadget telah menjadi alat teknologi informasi yang paling mengerikan pada saat ini. Dengan menggunakan gadget, seorang anak bisa mengakses situs-situs porno dari kamarnya atau tempat lain yang tidak diketahui orang.
Jelaslah, prilaku anak yang seperti ini pasti luput dari pengawasan orang tua. Hasilnya sangat memprihatinkan. Berbagai aktivitas seksual layaknya orang dewasa telah terjadi diberbagi tempat. Bahkan kasus kekerasan seksual yang disebabkan oleh kecanduan menonton pornografi sering diberitakan oleh media massa nasional.
Fenomena ini mengakibatkan harapan mewujudkan keluarga sebagai fondasi bangsa, terasa semakin sulit di era globalisasi informasi. Fungsi keluarga sebagai sumber informasi bagi anak sepertinya telah digantikan oleh internet. Oom Google dan media jejaring sosial lebih mudah diakses oleh anak dibandingkan anggota keluarganya. Beruntung apabila informasi yang diaksesnya bernilai positif maka selamatlah si anak. Namun, apabila anak yang masih sangat belia terlanjur mengakses informasi negatif, hancurlah tiang-tiang keluarga. Pada akhirnya, bangsa ini runtuh bersamaan dengah runtuhnya ketahanan keluarga.
Dengan makin rumitnya persoalan yang harus dihadapi keluarga Indonesia, masih mungkinkah menyongsong era keemasan menuju Indonesia Hebat. Kalau mungkin, apa yang harus dilakukan? Pasal 48 Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga memberi solusi melalui 8 cara:
- Peningkatan kualitas anak dengan pemberian akses informasi, pendidikan, penyuluhan, dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak.
- Peningkatan kualitas remaja dengan pemberian akses informasi, pendidikan, konseling, dan pelayananan tentang kehidupan berkeluarga.
- Peningkatan kualitas hidup lansia agar tetap produktif dan berguna bagi keluarga dan masyarakat dengan pemberian kesempatan untuk berperan dalam kehidupan keluarga.
- Pemberdayaan keluarga rentan dengan memberikan perlindungan dan bantuan untuk mengembangkan diri agar setara dengan keluarga lainnya.
- Peningkatan kualitas lingkungan keluarga.
- Peningkatan akses dan peluang terhadap penerimaan informasi dan sumberdaya ekonomi melalui usaha mikro keluarga.
- Pengembangan cara inovatif untuk memberikan bantuan yang lebih efektif bagi keluarga miskin.
- Penyelenggaraan upaya penghapusan kemiskinan terutama bagi perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga.
Mencermati bunyi kedelapan butir tentang cara pembangunan keluarga, ternyata butir-butir inilah formula untuk memperkuat ketahanan dan kesejahteraan keluarga Indonesia. Secara konstektual, butir-butir untuk memperkuat fondasi bangsa tersebut belum dapat diimplementasikan. Kedalapan butir itu harus ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menjadi “Kebijakan Pembangunan Keluarga” di daerah masing-masing.
Sebenarnya, dengan mengimplementasikan “Kebijakan Pembangunan Keluarga” ini maka 80% persoalan dasar yang ada disetiap daerah akan terselesaikan. Kenapa? Sebagian besar kisi-kisi substansi persoalan sosial yang kerap dihadapi daerah sudah diformulasikan melalui 8 cara yang ditawarkan pasal 48 Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tersebut.
Hanya saja, implementasi 8 cara itu akan berhasil apabila didukung oleh keluarga Indonesia. Untuk mendukung “Kebijakan Pembangunan Keluarga” dimaksud, ayah ibu, abah emak, atau apapun sebutannya perlu menaikkan grade sebagai orang tua hebat. Untuk apa? Supaya mereka tidak pernah gentar menghadapi dampak negatif dari televisi dan internet, termasuk intervensi budaya asing.
Lalu, apa yang harus dilakukan agar ayah dan ibu sukses menjadi orang tua hebat? Menurut Sudibyo Alimoeso, Deputi Bidang KSPK BKKBN dalam acara Kompasiana Nangkring, memberi tips sebagai berikut: (1) Bersiap-siap menjadi orang tua. (2) Memahami peran orang tua. (3) Memahami konsep diri orang tua. (4) Melibatkan peran ayah. (5) Mendorong tumbuh kembang anak. (6) Membantu tumbuh kembang balita. (7) Menjaga anak dari pengaruh media. (8) Menjaga kesehatan reproduksi balita. (9) Membentuk karakter anak sejak dini.