Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Orang Tua Hebat versus Televisi dan Internet

25 Juli 2015   20:42 Diperbarui: 25 Juli 2015   20:42 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keterangan foto: ilustrasi orang tua hebat (Sumber: Bahan Presentasi BKKBN)

Pernah pada awal tahun 2000, saya mendampingi tim penyuluh keluarga berencana (KB) dari provinsi berkunjung ke sebuah desa terpencil di Aceh Tengah. Untuk mencapai desa terpencil yang bernama Pameu ini memerlukan sebuah perjuangan berat. Bagaimana tidak, jaraknya tidak terlalu jauh, hanya 60 Km dari Kota Takengon. Namun,  waktu tempuhnya mencapai 12 jam. Hambatannya karena permukaan jalannya masih berupa tanah liat berlumpur.

Acara penyuluhan waktu itu sangat meriah, selain sesi penyuluhan pada siangnya dilanjutkan dengan pemutaran film layar tancap pada malamnya. Warga dari tiga desa yang ada disana terlihat sangat terhibur. Pasalnya, mereka jarang memperoleh hiburan baik melalui televisi maupun film layar tancap. Hal itu dimaklumi karena di wilayah itu tidak ada fasilitas listrik sama sekali.

Ditengah keasyikan warga menonton layar tancap, teringat salah satu ungkapan perasaan warga saat presentasi materi penyuluhan tentang pentingnya mengatur kelahiran. Dengan suara lantang, seorang warga Pameu menyela pemateri dengan sebuah komentar: “Kami setuju dengan yang bapak sampaikan, tetapi jangan larang kami berhubungan suami isteri. Di desa kami tidak ada listrik, tidak ada televisi, tidak ada film layar tancap. Hanya hubungan suami isteri satu-satunya hiburan kami.”

Tepuk tangan dan teriakan setuju dari warga membahana memenuhi ruang kelas SD, tempat acara penyuluhan itu berlangsung. Para penyuluh dan seluruh anggota tim yang hadir dibuat terperangah. Sulit membantah isi komentar itu, ditambah lagi para penyuluh seperti kehilangan perbendaharaan kata untuk merespon komentar itu. Akhirnya para penyuluh sepakat dengan warga untuk mengusulkan pembangunan infrastruktur listrik bagi kawasan tersebut. Dengan harapan, hiburan warga tidak semata-mata tergantung hubungan suami isteri, tetapi ada juga sajian acara televisi.

Benarkah kehadiran televisi dan media hiburan lainnya akan berkorelasi positif dengan penurunan pertumbuhan penduduk? Pada awalnya, saya sependapat dengan pandangan  itu. Logikanya, dengan durasi tayangan acara televisi sampai tengah malam diduga dapat mengurangi pertemuan suami isteri dimalam hari. Sebab, menonton televisi sampai tengah malam akan mempercepat rasa kantuk. Begitu tiba di peraduan, si suami atau isteri langsung tertidur lelap.

Memang waktu itu belum semua rumah tangga memiliki pesawat televisi. Sebab, pesawat televisi masih tergolong barang langka dan mahal. Dalam kondisi seperti itu, asumsi diatas barangkali masih relevan.   Kenapa? Karena warga harus menumpang nonton televisi di warung kopi atau rumah tetangga. Warga yang harus begadang nonton televisi di teras rumah tetangga pasti cepat lelah dan mengantuk.

Sekarang, pesawat televisi sudah menjadi barang biasa. Harganya terjangkau oleh sebagian besar warga. Wajar jika setiap rumah sudah melengkapi ruang keluarga dengan pesawat televisi. Di perkotaan, siaran televisi dapat ditangkap melalui antena UHF, sedangkan di perdesaan harus menggunakan antena parabola. Kini, televisi menjadi satu-satunya saluran hiburan plus “media pengajaran” yang dapat ditonton oleh semua keluarga di seluruh nusantara.

Hadirnya televisi di ruang keluarga ternyata tidak linier dengan penurunan angka pertumbuhan penduduk secara nasional. Laju pertumbuhan penduduk nasional menurut BKKBN tidak mengalami penurunan. Pada kurun waktu 1999-2000, laju pertumbuhan penduduk tercatat 1,49%. Angka ini tidak berubah pada kurun waktu 2000-2010 alias tetap pada angka 1,49%. Mirisnya, kehadiran televisi nyata-nyata telah merevolusi mental, prilaku dan gaya hidup keluarga dan anak-anak Indonesia.

Wawan Kuswandi (1996) dalam buku Komunikasi Massa Sebuah Analisis Media Televisi mengungkapkan bahwa: “Munculnya media televisi dalam kehidupan manusia memang menghadirkan suatu peradaban, khususnya dalam proses komunikasi yang bersifat massa. Globalisasi informasi dan komunikasi setiap media massa jelas melahirkan satu efek sosial yang bermuatan perubahan nilai nilai sosial dan budaya manusia. Daya tarik media televisi sedemikian besar, sehingga pola-pola kehidupan rutinitas manusia sebelum muncul televisi, berubah total sama sekali. Media televisi menjadi panutan baru (new religious) bagi kehidupan manusia. Tidak menonton televisi, sama saja makhluk buta yang hidup dalam tempurung, tetapi walaupun demikian televisi mempunyai dampak mempengaruhi yang menyentuh aspek psikologis massa.”

Setuju atau tidak, globalisasi informasi dan komunikasi telah mengalahkan ketahanan budaya keluarga Indonesia. Orang tua dan guru kalah waktu dalam membangun mental dan prilaku anak-anak, karena acara-acara televisi lebih dahulu membentuk karakter mereka. Sebagai panutan baru atau new religious, apapun yang ditayangkan televisi langsung ditiru oleh para pemirsa, terutama anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun