[caption id="attachment_374083" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi wawancara di Kompas TV (foto: mimbarrakyatdotcom)"][/caption]
Bertepatan dengan liburan Hari Raya Nyepi, saya terima tantangan si bungsu untuk gowes keliling kota Takengon. Si bungsu mengajak teman seusianya gowes menembus kabut dan dinginnya udara kota Takengon. Memanfaatkan hari libur sambil gowes (bersepeda) sungguh menyenangkan. Lebih-lebih gowes bersama anak-anak, penuh suasana gembira.
Hampir satu jam menyelusuri jalanan kota Takengon, kami kembali ke rumah. Meskipun suhu pagi itu cukup dingin, peluh tetap bercucuran dari wajah kami. Satu persatu peserta gowes tiba didepan rumah. Urutan terakhir yang tiba adalah seorang anak usia 7 tahun bernama FDL.
“Abang T41K, kenapa sepedaku abang seget (disenggol-bahasa gaul di Takengon),” teriak FDL ke arah si bungsu.
“Huss, jangan nyarut (ngumpat dengan kata jorok), dosa!” pinta saya sambil menyeka peluh yang terus mengucur.
“Ahok kenapa bisa bilang T41K?” sanggah FDL. Saya tanya, dimana dia mendengar Ahok berbicara seperti itu? Di televisi, kata FDL.
Terkesima mendengar argumentasi seorang anak SD kelas 1 itu. Saya baru teringat bahwa Gubernur Ahok pernah live bersama pembawa acara Aiman di Kompas TV. Siaran live itu berlangsung sore hari sekitar pukul 18.00 WIB, pas ketika anak-anak di Takengon sedang memelototi televisi.
Saya teringat kepada teori belajar Albert Bandura. Dikatakan bahwa anak membentuk teori pemikirannya melalui imitasi terhadap aksi orang lain maupun persepsi terhadap rangsang yang diterima dari lingkungannya (sumber: wikipedia).
Berangkat dari teori belajar Albert Bandura itu, saya (barangkali juga para orang tua yang lain) layak khawatir terhadap tokoh publik yang sering mengumbar umpatan di frekuensi publik. Kenapa? Tokoh publik itu adalah panutan, apa yang dikatakan dan dilakukannya akan ditiru oleh warga, terutama anak-anak.
Di rumah, para orang tua selalu mengajarkan anak-anaknya untuk berbicara sopan. Mereka melarang anak-anaknya mengeluarkan umpatan dan makian, terutama yang berkaitan dengan toilet dan kebun binatang. Anak-anak patuh kepada larangan orang tuanya.
Satu waktu kemudian, si anak menyaksikan pemimpin atau tokoh publik begitu santainya mengeluarkan umpatan toilet di frekuensi publik. Anak-anak menonton umpatan itu dari ruang keluarga di rumahnya. Lalu si anak bertanya kepada orang tuanya, “kenapa pemimpin rakyat itu boleh ngumpatin toilet?”
Inilah masalah baru bagi para orang tua dalam mendidik anak-anaknya menjadi sosok yang sopan, santun dan beradat. Kalaupun orang tua harus menjawab pertanyaan si anak, paling-paling dia akan mengatakan bahwa yang memaki dengan kata-kata isi dari toilet, maka orang itu adalah toilet.
Oleh karena itu, sebaiknya calon dan para pemimpin pemerintahan di Indonesia perlu mempelajari buku KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA yang ditulis oleh Prof. S. Pamudji (1986). Buku itu mengulas tuntas tentang teknik dan gaya kepemimpinan pemerintahan di Indonesia yang menjunjung tinggi budaya dan tradisi nusantara.
Pada halaman 117 buku itu, salah satunya digambarkan tentang ajaran kepemimpinan “Wulangreh” yang berisi larangan bagi seorang pemimpin, yaitu:
• Jangan lonjo; lonjo artinya orang yang tidak dapat diikuti kehendaknya, pendiriannya tidak tetap, tidak mempunyai kesetiaan terhadap tujuan dan cita-cita.
• Jangan lemer; lemer artinya orang yang mudah sekali tenggelam pada keinginan-keinginan.
• Jangan genjah; genjah artinya orang-orang yang tidak mantap dalam pekerjaan, selalu berganti dalam pekerjaan.
• Jangan angron pasanakan; angron pasanakan artinya mengadakan hubungan gelap dengan isteri orang lain.
• Jangan nyumur gumuling; nyumur gumuling artinya sumur yang sangat lebar, ini arti kiasan yang maksudnya orang yang tidak punya rahasia, segala sesuatunya disampaikan kepada orang lain.
• Jangan ambuntut arit; buntut arit artinya ekor sabit, yaitu didepan lurus dibelakang bengkok; maksudnya orang yang didepan enak berbicara, tetapi dibelakang lain; tidak satunya kata dan perbuatan; berarti tidak dapat dipercaya.
Prof. S. Pamudji juga menyebutkan bahwa pemimpin harus memiliki delapan watak, yaitu Watak Matahari, Watak Bulan, Watak Bintang, Watak Angin, Watak Mendung, Watak Api, Watak Samudera, dan Watak Bumi.
Terkait dengan Watak Samudera, dalam buku itu dijelaskan bahwa samudera mempunyai sifat luas dan rata. Artinya, bahwa setiap pemimpin harus dapat berfungsi laksana samudera yaitu mempunyai pandangan yang luas, rata, sanggup menerima persoalan dan tidak boleh membenci terhadap seseorang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H