Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Money

“Pendiri” Maskapai Garuda Menunggu Diskon Spesial

29 Juni 2013   18:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:14 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1372505430168812281

[caption id="attachment_263672" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Replika pesawat Dakota RI-001 di Blang Padang Banda Aceh (Sumber foto: atjehpost.com)"][/caption] Kacang lupa pada kulitnya. Begitu kira-kira pepatah yang layak dialamatkan rakyat Aceh kepada maskapai Garuda. Pepatah itu tidak terkait dengan pelayanan yang diberikan maskapai BUMN itu, tetapi berdasarkan kajian sejarah berdirinya maskapai itu. Sedangkan dari segi pelayanan, maskapai Garuda jauh berada diatas maskapai nasional lainnya. Apabila pembaca pernah berkunjung ke Alun-alun Blang Padang di Banda Aceh, disana teronggok sebuah pesawat Dakota tua. Kenapa “bangkai” pesawat eks Perang Dunia II itu harus dipajang disana? Memang, belum semua orang memahami sejarah “bangkai” pesawat Dakota itu. Besi tua yang dipajang disisi Barat Alun-alun Blang Padang itu adalah pahlawan maskapai Garuda, hasil donasi rakyat Aceh diawal-awal kemerdekaan. Mungkinkah dimasa sesulit itu rakyat Aceh masih sempat berdonasi untuk membeli pesawat guna menghalau Belanda? Kisahnya begini, saat Presiden Soekarno berkunjung ke Aceh pada Juni 1948, dia menantang semangat patriotisme rakyat Aceh. Dalam pertemuan yang berlangsung di Hotel Atjeh, Kutaradja, Bung Karno mencetuskan ide pembelian sebuah pesawat udara yang sangat dibutuhkan dalam menembus blokade musuh. “Saya tidak makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul,” kata Bung Karno seperti ditulis AK Jakobi dalam buku “Aceh Daerah Modal.” Mendengar tantangan Bung Karno, mendidihlah darah anak muda Aceh. Seorang saudagar muda yang masih berusia 30 tahun bernama M. Djuned Joesoef (Ketua gabungan saudagar Aceh-GASIDA) dengan tegas menyatakan kesediaannya memberikan donasi. Setelah itu, disusul oleh sejumlah saudagar lain yang hadir dalam pertemuan itu. Bak gayung bersambut, tantangan Bung Karno terjawab. Donasi untuk membeli pesawat yang berhasil dikumpulkan mencapai 120.000 dolar Singapura ditambah 20 Kg emas. Dana sebesar itu cukup untuk membeli dua unit pesawat Dakota. Kemudian, hasil donasi itu diserahkan langsung oleh Residen Aceh T.M.Daudsyah kepada Bung Karno. Luar biasa! Dua mesin terbang itu merupakan pesawat pertama yang dimiliki Indonesia untuk menghadapi agresi milter Belanda tahun 1948. Kedua pesawat itu diberi nama Seulawah RI-001 dan 002. Tugas Seulawah RI-001 adalah membawa senjata, mesiu dan obat-obatan melintasi garis musuh. Sedangkan Seulawah RI-002 dikaryakan di Pangkalan Rangoon, dan keuntungan yang diperoleh digunakan untuk membeli dua pesawat baru RI-007 dan RI-009. Apa jasa yang telah diberikan pesawat ini kepada proses berdirinya Republik Indonesia? Menurut AK Jakobi (1992) dalam buku Aceh Daerah Modal, pesawat Seulawah RI-001 menjadi kekuatan pertama armada TNI-AU yang telah berjasa besar menerobos blokade Belanda. Kemudian, menjadi jembatan yang menghubungkan antara pemerintah pusat di Yogyakarta dengan PDRI di Suliki (Bukit Tinggi) dan Kutaraja (Banda Aceh). Akhirnya, pesawat itu menjadi cikal bakal pesawat Garuda yang dikomersilkan. Berangkat dari perjalanan sejarah tersebut, timbul pertanyaan: siapakah sesungguhnya yang menjadi pahlawan atas hadirnya dua pesawat itu? Rakyat Aceh! Sebagai cikal bakal lahirnya maskapai penerbangan yang bernama Garuda, pernahkan maskapai itu memberikan diskon khusus untuk rakyat Aceh yang terbang bersama Garuda? Belum pernah terdengar. Begitulah, menyumbang untuk perjuangan melawan penjajah Belanda bukan hal baru bagi rakyat Aceh. Ketika untuk pertama kalinya Belanda menjejakkan kaki di bumi Aceh, 8 April 1873, peti harta rakyat Aceh pernah terkuras untuk donasi perjuangan perang sabil melawan Belanda. Meski hartanya telah terkuras, mereka tidak pernah berharap menjadi pahlawan, tetapi tekadnya hanya untuk membantu para pejuang yang menyabung nyawa di medan tempur. Di kemudian hari semangat patriotisme itu dilupakan oleh gemerlapnya perjalanan negeri ini. Maskapai Garuda juga seperti kacang lupa pada kulitnya. Jangankan memberikan saham, diskon khusus untuk rakyat Aceh yang terbang dari Bandara Sultan Iskandar Muda tak kunjung terwujud. Pesaham pertama alias “pendiri” dari maskapai Garuda hanya bisa melihat burung besi itu terbang melintasi rumah mereka. Itulah resiko sebuah perjuangan. Saat berada dalam kesulitan dan tekanan penjajah, yang muncul adalah pahlawan sejati tanpa pamrih. Tujuan mereka seperti ditulis dalam kisah Prang Sabi, “mereka mati hanya dengan satu cita-cita, menjadi syuhada dan bertemu dengan budiadari.” Akankah pramugari Garuda benar-benar menjadi budiadari bagi anak cucu para pendiri dan pesaham patriotis maskapai itu? Wallahualam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun