Dinamika Partai Demokrat (PD) makin menarik, setelah peserta Kongres Luar Biasa (KLB) di Bali secara aklamasi memilih Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum. Sebelumnya, para pakar dan pengamat tidak yakin jika SBY akan menerima jabatan sebagai ketua umum. Mereka berpendapat berdasarkan kepada sikap konsisten dan taatnya SBY terhadap hukum positif maupun aturan tidak tertulis (tradisi).
Pakar dan pengamat sah-sah saja beranalisis, kenyataannya SBY tetap menerima jabatan ketua umum meskipun dengan beberapa syarat, diantaranya akan menunjuk seorang ketua harian. Biasanya, manakala seseorang terpilih sebagai ketua umum sebuah partai politik, dia akan mundur dari jabatan di eksekutif atau legislatif.
Pernah penulis bertanya kepada Anas Urbaningrum via Twitter ketika baru terpilih sebagai Ketua Umum PD, “kenapa anda mundur dari anggota DPR-RI?” Dia menjawab: “supaya lebih fokus mengurus partai.”
Logis juga jawabannya, karena untuk mengelola sebuah partai besar sekelas PD bukanlah pekerjaan ringan. Dia harus menyambangi DPD dan DPC-DPC di daerah-daerah, tentu tidak mungkin dikerjakan paruh waktu. Lebih-lebih menjelang pengajuan calon anggota legislatif untuk Pemilu 2014, tentu sangat banyak dokumen yang harus ditangani oleh seorang ketua umum. Cukupkah waktunya?
Kita tidak tahu, apakah mendorong SBY sebagai Ketua Umum PD benar-benar tulus untuk meningkatkan elektabilitas PD yang terlanjur anjlok? Kalau benar, tentu tugas berat ditambah di pundak SBY disamping beban memajukan bangsa Indonesia yang masih diembannya. Kalau salah, berarti yang mendorong SBY menjadi ketua umum sedang mempertaruhkan “Sang Presiden” dalam mendongkrak elektabilitas PD.
Untuk diketahui, “magnet” SBY dewasa ini berbeda dengan “magnet-nya” pada dua Pemilu yang lalu. Waktu itu, SBY bagaikan artis yang dielu-elukan fans-nya (terutama ibu-ibu). Bahkan ketika ditanya kepada orang-orang yang baru keluar dari bilik suara saat Pemilu Legislatif 2009, tanpa kerahasiaan, mereka dengan lantang mengatakan telah memilih SBY (maksudnya PD).
Lalu, bagaimana persepsi masyarakat terhadap PD akhir-akhir ini? Sepertinya hasil suvey yang dilakukan oleh Indonesia Network Election Survey (INES) dapat dijadikan acuan dasar. Menurut INES seperti dilansir Merdeka.com (19/11/2012), hasil survey yang mereka lakukan pada bulan Oktober 2012 menunjukkan bahwa elektabilitas PD hanya 8,4%, berada dibawah Partai Golkar (22,1%), PDIP (17,4%), dan Gerindra (14,3%). Dipercaya atau tidak, yang jelas hasil survey itu sudah dipublikasikan secara luas.
Sepertinya, masyarakat tidak lagi melihat PD sebagai SBY atau SBY sebagai PD. Masyarakat melihat PD seperti partai politik lain pada umumnya, dan melihat SBY sebagai Presiden RI. Wajar jika sejumlah kader PD berulang-ulang meminta SBY selaku sesepuh PD untuk segera “turun gunung” guna menyelamatkan partai.
Gagasan kader-kader itu sudah betul karena mereka menyadari PD mulai limbung pasca bermasalahnya beberapa elite partai berlambang bintang mercy itu. Namun, apakah yang betul itu selalu bisa benar jika diuji dengan tradisi politik di negeri ini? Jangan-jangan “magnet” SBY yang sekarang saja sudah berkurang daya tariknya, malah makin luntur? Semoga dugaan ini salah adanya.
Sekarang, setelah SBY terpilih sebagai Ketua Umum PD, berkembang spekulasi tentang siapa yang akan ditunjuk SBY sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PD. Masihkah dia memakai Ibas alias Edhie Baskoro Yudhoyono (putra SBY) sebagai Sekjen PD? Lagi-lagi SBY dihadapkan kepada persoalan etis atau kurang etis, sementara pengalaman Ibas sebagai Sekjen sudah mumpuni.
Apa kata “dunia,” jika kemudian SBY mengukuhkan Ibas sebagai Sekjen PD. Dipastikan, dunia politik di tanah air, media jejaring sosial, media massa dan para pengamat akan riuh mengomentari komposisi kepengurusan itu. Bagaimana tidak riuh, bapaknya jadi ketua umum dan anaknya menjadi sekjen partai. Bisa jadi, kepengurusan itu akan dicatat sebagai rekor MURI dibidang politik.
Penulis percaya, SBY akan menghindari skenario itu. Sebagai seorang jenderal, dia sangat menyadari bahwa skenario itu sebagai “jebakan politik” yang bisa menyebabkan elektabilitas PD jatuh ketitik nadir. Barangkali SBY akan mengimplementasikan kata-kata bijak dari Sultan Iskandar Muda ketika akan menghukum putranya yang melakukan tindak pidana.
Apa kata Sultan Iskandar Muda: “Mate aneuk meupat jeurat, mate hukom pat tamita.” Dalam terjemahan bebas, kata-kata bijak ini berarti: Kalau anak yang mati jelas dimana kuburannya, tetapi kalau hukum yang mati kemana lagi harus dicari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H