“Saya tidak bisa menolong, mereka begitu cepat hilang digulung air. Saat itu saya berpikir, inilah kiamat,” ungkap ayah beranak satu itu.
Sekitar satu jam setelah itu, gelombang air berwarna hitam mulai mereda. Orang mulai turun satu persatu dari atap rumah, termasuk Arslan. Setiba dibawah, barulah disadarinya baju ditubuhnya sudah hancur. Satu-satunya pakaian yang tersisa adalah celana blue jean yang sudah koyak-koyak. Begitu pula wajah dan seluruh tubuhnya, berselimut lumpur hitam. Arslan merasa sangat beruntung, masih ada celana koyak yang tersisa ditubuhnya. Sementara orang lain yang selamat, hanya tinggal kolor menutup auratnya, bahkan ada yang sudah telanjang bulat.
Mereka yang selamat mulai mencari sanak keluarganya ditengah tangisan pilu. Demikian pula dengan Arslan, dia berusaha mencari kerabatnya yang terpisah ketika menyelamatkan diri dari gelombang tsunami. Akhirnya, dia menemukan mobil Toyota Kijang 1979 itu tersangkut di pagar kantor Dipenda Aceh. Didalam kabin mobil tersebut, dia menemukan jenazah kakek yang ikut menumpang dari Blang Padang. Sedangkan dua orang kerabatnya yang lain hilang entah kemana. Dia dibantu oleh seseorang mengangkat jenazah kakek itu kedalam lobby kantor Dipenda. Disanalah salah satu tempat evakuasi jenazah korban tsunami.
Sekitar pukul 15.00 WIB, diapun tiba didepan rumah pamannya yang terletak di perumahan dosen sektor Timur Darussalam. Disitu pun dia melihat orang-orang sedang menangis. Seharusnya acara perkawinan yang berlangsung meriah, ketika itu telah berubah menjadi suasana dukacita. Awalnya, kemunculan Arslan didepan pintu rumah itu tidak dikenali orang. Wajar, sosoknya sore itu berbalut lumpur hitam tsunami, tanpa baju dan hanya mengenakan celana koyak-koyak.
“Saya Arslan, cik” katanya, dan sekonyong-konyong paman dan semua orang disana pingsan mendengar suara itu.
Rupanya, dua orang kerabatnya selamat dan sudah tiba dirumah itu satu jam yang lalu. Mereka menceritakan bahwa Arslan dan kakek hilang dalam pusaran gelombang besar itu. Informasi itulah yang menyebabkan paman dan seluruh anggota keluarganya histeris. Arslan menceritakan jenazah kakek sudah dievakuasi ke aula Kantor Dipenda. Sore itu juga diputuskan kembali ke kantor Dipenda untuk mengambil jenazah kakek. Mereka terpaksa berjalan kaki karena mobil tidak bisa digunakan. Seluruh permukaan jalan protokol itu dipenuhi oleh mayat, bongkahan tembok dan kepingan kayu.
Hebatnya, lolos dari kiamat sugra ternyata tidak mematahkan semangat Arslan. Kini, Arslan hidup bahagia bersama isteri dan seorang anaknya di kota dingin Takengon. Dalam pandangannya, isu kiamat 2012 bukanlah sesuatu yang menakutkan. Kenapa? dia sudah pernah selamat dari kiamat sugra, ketika tsunami Aceh tahun 2004. Sarannya, kapan saja datangnya kiamat, kita harus siap menghadapi akhir zaman. Percaya kepada hari kiamat adalah salah satu rukun iman. Kapan terjadinya? “Itu rahasia-Nya, hanya Dia yang mengetahui,” pungkas Arslan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H