Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Ibukota Memang Kejam, Koq Sopir Angkotnya Toleran?

18 Juni 2012   06:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:50 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_188803" align="aligncenter" width="300" caption="Angkot menunggu penumpang di Terminal Kampung Melayu (Foto: okezone.com) "][/caption] Siapa bilang ibukota tidak kejam, tanpa uang, warganya bisa jadi gelandangan. Makanya tidak heran ada lagu yang mempertanyakan “sapa suruh datang Jakarta.” Selain itu, sangat benar pameo orang-orang yang gagal di ibukota yaitu “sekejam-kejamnya ibu tiri, ternyata lebih kejam ibukota.”

Namun, orang  makin nekad untuk mengadu nasib ke Batavia, bahkan menurut tulisan Kompasdotcom (1/9/2011) sebanyak 50 ribu pendatang baru sesaki Jakarta. Ini membuktikan bahwa kepada semua orang, meskipun Jakarta itu kejam tetapi orang selalu merindukannya. Apa sebenarnya yang dapat dijanjikan oleh Jakarta? Tentu lapangan kerja yang melimpah.

Padahal, bagi para pemilik mobil, begitu mulai bergerak dan keluar rumah berarti kantong mulai bocor. Dia harus menyediakan  uang untuk tol, bahan bakar minyak, parkir, uang receh untuk pak ogah, dan biaya makan selama di perjalanan.

Apabila ingin dihitung, sekitar Rp.50 ribu lebih pasti terkuras dari kantongnya. Bisa dibayangkan, jika  pendapatan mereka yang tinggal di Jakarta kurang dari Rp.100 ribu per hari, barangkali untuk makan saja kesulitan apalagi mau cari kontrakan yang memadai. Inilah yang menyebabkan orang mengatakan ibukota itu kejam!

Tersedotnya uang untuk biaya transportasi bukan hanya dialami para pemilik mobil dan motor. Masyarakat biasa yang menggunakan jasa angkutan umum juga harus menyediakan uang untuk ongkos dan makan siang paling kurang Rp.20 ribu. Sebaliknya, pendapatan yang mereka peroleh dari aktivitas hariannya lebih besar sedikit dari biaya transportasi dan makan siang. Demikian dituturkan MN Irwandi (32) seorang pecatur bergelar Master Nasional yang pernah malang melintang di jalanan Jakarta, Senin (18/6) siang, di Cafe Batas Kota Takengon.

[caption id="attachment_188875" align="aligncenter" width="640" caption="MN Irwandi, pecatur jalanan yang pernah tidur dibawah jembatan layang Jatinegara karena kehabisan uang."]

13400167251605889586
13400167251605889586
[/caption] Coba bayangkan, lanjut Irwandi, bagaimana nasib orang di Jakarta jika tidak memiliki sepeserpun uang di kantongnya? Dapat dipastikan bahwa mereka akan menjadi gelandangan. Emperan dan jembatan layang akan jadi rumahnya, sembari mengharap belas kasihan orang lain. Kalau mereka termasuk orang nekat dan pemberani, maka mereka akan melakukan tindak kekerasan untuk memperoleh seribu dua ribu rupiah.

Jangan heran, gara-gara uang seribu orang bisa saling tusuk menusuk sampai mati di Jakarta. Makanya jika ada orang minta uang seribu dua ribu, kalau ada, lebih baik berikan saja daripada berujung kepada kekerasan yang kerugiannya bisa mencapai jutaan rupiah.

“Di Jakarta ada orang yang sangat kaya dan ada pula orang yang sangat miskin. Ada orang yang tinggal di apartemen sangat mewah, ada pula yang tidur dibawah jembatan beralaskan kertas koran,” sebut pecatur yang sering tidur dibawah jembatan layang Jatinegara.

Irwandi melanjutkan, walaupun ibukota itu kejam, ternyata toleransi diantara orang-orang susah cukup tinggi di sana. Pernah suatu waktu dia tidak memiliki uang sepeserpun, dan belum makan sejak pagi. Hari itu, beberapa kali dia kalah di lapak catur sehingga seluruh isi kantongnya terkuras habis.

Untuk pulang ke rumah kontrakannya di kawasan Manggarai, dia tidak punya ongkos sama sekali. Tetapi dia harus pulang untuk mengisi perut yang sudah sangat perih. Di ranselnya selalu tersedia sebuah map folio kumal yang berisi foto copy ijazah dan surat permohonan. Map folio itu menjadi alat terakhir untuk bisa pulang ke rumah dengan menumpang angkot.

Ketika menumpang angkot dari Terminal Jatinegara menuju Terminal Manggarai, dipegangnya map folio kumal itu ditangannya. Saat kondektur angkot meminta ongkos, Irwandi memperlihatkan map folio kumal itu kepada si kondektur sambil mengatakan “sedang cari kerja mas!”

Irwandi juga memperlihatkan isi kantongnya yang kosong sama sekali. Akhirnya Irwandi tidak dipungut ongkos oleh kondektur itu. Sampailah dia ke Terminal Manggarai tanpa harus membayar ongkos angkot. “Kalau kita bohong dan ketahuan punya duit, bisa penyok digebuk kondektur dan awak angkot,” ungkapnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun