Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bangga(r) Renovasi Ruang Sidang Setara 200 RSS [Pembiarankah?]

19 Januari 2012   00:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:42 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memilukan, hanya itu kata paling layak terucap manakala mendengar berita wakil rakyat Indonesia menghambur-hamburkan uang rakyatnya. Beberapa waktu lalu tersiar kabar, uang rakyat dialokasikan sampai Rp. 2 milyar hanya untuk merenovasi WC DPR-RI ditengah warga yang masih “buang hajat” di tepi kali Ciliwung.

Begitu gampangnya mengalokasikan anggaran sampai Rp. 1,59 milyar hanya untuk menyediakan pengharum ruangan diantara warganya yang “bau sampah” karena bekerja sebagai pemulung. Lebih ironis lagi, ketika mereka memaksa diri merenovasi ruang sidang Banggar DPR-RI dengan anggaran sebesar Rp.20,3 milyar setara dengan membangun 200 unit rumah sangat sederhana (RSS).

Padahal didepan mata mereka, tepatnya di bantaran Kali Ciliwung, dibawah-bawah jembatan dan disepanjang rel kereta api, rakyat masih tinggal dalam rumah-rumah kardus. Rakyat tinggal berdesak-desakan dalam gubuk sempit yang setiap saat terancam penertiban oleh satpol PP.

Anak-anak jalanan, gelandangan dan pengemis yang homeless tertidur pulas di emperan ruko. Wakil rakyat pasti melihat langsung anak-anak jalanan itu dari kaca mobil mewahnya. Bukankah wakil rakyat pada akhirnya ikut “melanggar” konstitusi karena membiarkan anak-anak jalanan itu tidak diurus? Mereka lebih bangga (r) merenovasi ruang sidangnya.

Padahal kita sangat tahu, dari 560 orang anggota DPR-RI sebagian dari mereka adalah mantan aktivis yang sebelum duduk di kursi berharga “Rp 24 juta” itu sangat nyaring suaranya membela kaum tertindas. Sekarang mana suara mereka, kenapa mereka jadi “pendiam?” Apakah suara nyaring itu sekedar untuk meraih satu kursi empuk di DPR-RI atau mereka sengaja diam?

Kini, rakyat Indonesia jadi makin yakin bahwa benar “tong kosong itu nyaring bunyinya.” Orang yang dahulunya papa dan tak berdaya, begitu berada di level berkuasa yang berlimpah harta, ternyata mulutnya terkunci rapat. Dahulu mereka seorang “revolusioner” kini mereka menjadi “statisioner” yang pendiam. Ada apa dengan fenomena ini?

Jangan-jangan (ini dugaan lho?) para “revolusioner” yang duduk di bangku empuk DPR-RI sengaja membiarkan kebencian publik terhadap wakil rakyat dan pemerintah makin menguat. Mereka (mungkin) sebenarnya tahu tentang keserakahan teman-temannya, tetapi dia pura-pura tidak tahu. Mereka berharap rakyat akan sampai pada titik sangat kecewa kepada pemimpinnya, sehingga rakyat sangat mudah digerakkan untuk melakukan sebuah aksi “revolusi.”

Seperti gambaran Niccolo Macchiaveli penulis buku IL PRINCIPE tentang fortuna yang menyerupai “satu dari sungai kita yang merusak, yang pada saat marah akan mengubah daratan menjadi danau, meruntuhkan pohon dan bangunan, mengambil dunia dari satu titik dan meletakkannya pada titik lain; semua orang melarikan diri sebelum banjir; semua orang marah dan tidak ada yang dapat menolak.”

Sadarkah para pemimpin dan para wakil rakyat tentang fenomena ini? Pembiarankah ini? Khawatirnya kita, mereka semua sedang asyik memetik buah sehingga lupa bahwa “pohonnya” sedang digergaji dari bawah. Mereka baru tersadar ketika “pohon” itu tumbang. Ketika itulah mereka menangisi semua keserakahannya, tetapi penyesalan itu tidak pernah terjadi di awal, penyesalan hanya terjadi di akhir sebuah fragmen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun