Mohon tunggu...
Syukri Muhammad Syukri
Syukri Muhammad Syukri Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Orang biasa yang ingin memberi hal bermanfaat kepada yang lain.... tinggal di kota kecil Takengon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ahok Bisa Bikin Birokrat Jakarta “Kalap?”

30 Maret 2014   04:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:18 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13961047091217280226

[caption id="attachment_317668" align="aligncenter" width="780" caption="Ilustrasi (Sumber Foto: Kompasdotcom)"][/caption]

Marah, kini menjadi “trade mark” Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sang Wagub DKI Jakarta. Seolah-olah, Ahok dan marah itu satu kesatuan ibarat sekeping mata uang. Anehnya, media malah makin gencar mengekspose Ahok marah. Ahok makin menjadi-jadi. Meradangnya Ahok bukan hanya sampai tingkat marah. Dia juga mengeluarkan ancaman pecat. Ahok benar-benar memandang birokrat itu semacam buruhnya.

Beberapa teman birokrat yang bekerja di Pemda DKI Jakarta, dalam bincang-bincang dengan kompasianer beberapa waktu lalu, mengaku sudah muak dengan gaya Ahok yang temperamental. Gaya Ahok yang pemarah cocok untuk boss pabrik. Sedangkan untuk seorang kepala daerah, seyogyanya sifat Ing Ngarso Sung Tulodo yang harus dikedepankan, kata mereka.

Pasalnya, kata birokrat itu, ketika mereka mengikuti diklat prajabatan atau diklat kepemimpinan lainnya, materi yang diajarkan diantaranya seorang pemimpin wajib memiliki sifat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.

Apa makna filosofi itu? Ing Ngarso Sung Tulodo itu kalau di depan memberi contoh; Ing Madyo Mangun Karso yaitu kalau ditengah memberi semangat, dan Tut Wuri Handayani yang artinya kalau dibelakang memberi dorongan.

Sebagai wakil kepala daerah, Ahok sedang berada didepan. Sebagai sosok yang berada di depan, seharusnya dia menjadi ing ngarso sung tulodo, yaitu harus memberi contoh yang baik. Faktanya, contoh yang paling sering ditunjukkan Ahok adalah memarahi anak buahnya di depan umum.

Ironisnya, aktivitas memarahi anak buah itu sengaja diupload di youtube, malah diekspose pula oleh sejumlah media massa. Bagaimana malunya seorang manusia berperasaan yang dimarahi didepan umum, serta diekspose oleh media massa. Semua khalayak menjadi tahu.

Seperti yang dialami seorang Wiriyatmoko, pelaksana tugas (Plt) Sekda DKI Jakarta, setelah dimarah oleh Ahok, lalu diancam pecat pula (Kompasdotcom, 28/3/2014). Padahal, seorang pelaksana tugas sekda itu tidak mendapat tunjangan jabatan. Plt Sekda itu semacam kerja bhakti di jabatan itu.

Ahok marah karena birokrasi DKI Jakarta belum juga menerima sumbangan bus dari pihak swasta. Sebaliknya, menurut Wiriyatmoko, saat ini pihaknya masih menunggu rekomendasi BPKP apakah dapat menerima bantuan bus tersebut atau tidak. “Kalau belum ada rekomendasi dari sana (BPKP), yang saya enggak mau (terima), mending berhentikan saya sajalah,” (Sumber: Kompasdotcom, 28/3/2014).

Jelas sekali dari pernyataan itu bahwa Wiriyatmoko bisa membaca bahaya dikemudian hari akibat sumbangan bus tersebut. Itulah pernak-pernik birokrasi yang sesungguhnya tidak dipahami oleh Ahok. Seorang birokrat itu harus patuh pada aturan yang berlaku. Kalau serampangan, resikonya “terpanggang” di jalur hukum. Selayaknya sikap Wiriyatmoko itu harus kita dukung, bukannya kemarahan Ahok yang dipuji-puji.

Wiriyatmoko yang sudah mau bekerja membantu Ahok secara kerja bhakti (Plt Sekda), seharusnya diapresiasi oleh Ahok. Sebenarnya mereka menjaga Jokowi-Ahok agar tidak terjerat dengan sumbangan bus tersebut. Sebaliknya, Ahok malah mengancam akan memecatnya dibumbui pula dengan kalimat yang menyakitkan hati. Sikap Wiriyatmoko merupakan secuil bukti bahwa sikap Ahok telah “memaksa” birokrat DKI Jakarta bangkit untuk melakukan perlawanan.

Seandainya Ahok tidak juga menghilangkan kebiasaan marah-marah, dan belajar tentang sifat-sifat kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara (Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani), dikhawatirkan akan membuat birokrat DKI Jakarta “gelap mata” bahkan “kalap.”

Birokrat yang sering dimarahi Ahok, bukan buruhnya, mereka orang-orang dewasa yang terdidik dan memiliki harga diri. Siapa tahu, kakek-nenek para birokrat itu barangkali para pejuang yang dahulu telah menumpahkan darah untuk berdirinya republik ini. Bayangkan bagaimana sedihnya.

Jelasnya, mereka akan tersinggung jika dimarahi Ahok didepan umum. Apalagi jika beritanya dimuat di media massa. Anak, isteri dan keluarga birokrat itu akan tahu jika orang yang mereka hormati dimarahi oleh seorang Ahok. Keluarga birokrat itu pun ikut tersinggung. Dan, ketika terlalu sering dimarahi, mereka bisa kalap. Moga mereka tidak mengamuk, tetapi tidak tertutup kemungkinan berujung kepada mogok massal. Dalam kondisi yang demikian, kira-kira mampukah Ahok mengurus Jakarta sendirian?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun