Mohon tunggu...
Muhammad Syifa
Muhammad Syifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Senang membaca, menulis, memotret, berakting, dan mendengarkan musik. Suka kopi, susu, kopi susu, dan air putih.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Mengulas Propaganda Jepang dalam Novel Cinta Tanah Air Karya Nur Sutan Iskandar

22 Juli 2024   21:10 Diperbarui: 22 Juli 2024   21:14 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sebelum membahas mengenai propaganda yang terdapat dalam novel Cinta Tanah Air, kita perlu mengetahui dulu apa yang terjadi pada bangsa Indonesia dan dunia kesusastraan Indonesia pada masa itu. Jepang, yang saat itu bersekutu dengan Jerman dalam Perang Dunia II, menyerang Pelabuhan Pearl di Amerika Serikat yang merupakan basis Angkatan Laut Amerika Serikat. Akibat penyerangan itu, Amerika Serikat yang semula berada dalam posisi netral menyatakan diri untuk ikut serta di dalam Perang Dunia II dan bergabung dalam blok sekutu. Perang antara Amerika Serikat dengan Jepang pun tak terhindarkan, dengan berlanjutnya perang di Kawasan Asia-Pasifik.

Demi membangun kekuatan yang besar untuk melawan blok sekutu, Jepang memiliki visi untuk membangun Asia Timur Raya. Sejalan dengan visi itu, Jepang melancarkan berbagai propaganda dalam kependudukannya di berbagai wilayah di Asia Timur, termasuk di dalamnya Indonesia. Kekalahan Belanda melawan Jerman memberikan kesempatan Jepang untuk menduduki wilayah Hindia Belanda.

Dan selama kependudukan Jepang di Hindia Belanda, berbagai kebijakan diterapkan pemerintahan pendudukan Jepang. Bahasa Belanda dilarang dipergunakan. Sebaliknya, penggunaan bahasa Jepang menjadi bahasa formal diberlakukan, dan penggunaan bahasa Indonesia yang sebelumnya dilarang pada masa kolonial menjadi diperbolehkan. Kemudian Jepang mendirikan lembaga kebudayaan yang bernama Keimin Bunka Shidosho yang bertugas mengatur berbagai propaganda di bidang kebudayaan, termasuk kesusastraan.

Banyak kalangan sastrawan yang menolak untuk bergabung ke dalam lembaga ini, seperti Chairil Anwar, tetapi ada juga yang bersedia untuk bergabung dalam lembaga ini dan menuliskan karya-karyanya untuk kepentingan propaganda Jepang. Karena banyak kebijakan Jepang yang memengaruhi dunia kesusastraan di Indonesia, maka periode ini disebut sebagai angkatan ’45. Tak banyak karya sastra lahir pada periode ini, tetapi di antara karya-karya sastra yang terbit banyak mengandung unsur-unsur kebangsaan, dan juga propaganda Jepang. Salah satunya adalah novel Cinta Tanah Air karya Nur Sutan Iskandar.

Novel tersebut merupakan novel pesanan Jepang kepada Nur yang bertujuan melancarkan propagandanya. Nur yang saat itu menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka tak menuliskan novel itu begitu saja. Dengan posisinya itu, dia juga menyelipkan nilai-nilai nasionalisme agar bangsanya bisa melindungi negaranya sendiri tanpa bantuan dan gangguan Jepang.

Heiho, Seinendan, dan Kempeitai

Pada permulaan novel ini, banyak muncul penyebutan terhadap ketiga organisasi tersebut. Heiho, Seinendan, maupun Kempeitai adalah organisasi militer bentukan Jepang yang merekrut orang-orang Indonesia untuk ikut serta dalam peperangan di Asia Pasifik. Heiho merupakan pekerja kasar yang ditugaskan di medan perang, Seinendan merupakan organisasi pemuda bentukan militer Jepang yang tujuannya untuk mendidik para pemuda tentang kemiliteran agar nantinya bisa diikutsertakan dalam perang. Sedangkan Kempeitai adalah polisi militer sekaligus polisi rahasia yang ditempatkan di seluruh wilayah kekaisaran Jepang termasuk Indonesia sebagai pendudukannya.

Ketiga itu muncul dan disebutkan secara heroik. Tentang semangat para pemuda dalam membela tanah airnya, termasuk rela mempersembahkan jiwa dan raganya kepada bangsa Indonesia dan bangsa Jepang itu sendiri. Unsur propaganda ini semakin terlihat dengan penyebutan bahwa bangsa Indonesia sudah ‘diinsafkan’ dari pengaruh Belanda pada masa Hindia Belanda oleh Jepang.

Amiruddin

Amiruddin adalah tokoh utama dalam novel ini. Pada semangat juangnya yang masih muda, dia bertekad untuk tidak menikah demi memperjuangkan bangsanya sendiri. Begitu perkataannya sebelum dia bertemu dengan Astiah di atas Trem. Seiring pertemuannya itu, dia bertemu lagi di pameran kesenian dan membawa pulang sapu tangan atas namanya dan membayar milik Astiah juga. Namun ternyata, sapu tangannya itu tertukar dan dia sempat berjanjian untuk bertemu dengan teman dari Ayahnya yang ada di Minangkabau yang ternyata merupakan ayah Astiah. Dari situlah cerita mereka berjalan, hingga ke pernikahan mereka, Amir mendapat kesempatan untuk menjadi pasukan sukarela, yang juga diikuti kasihnya itu sebagai juru rawat. Cinta mereka itu semakin menyatu dalam cinta tanah air.

Jika dilihat dari gaya penulisan yang mengambil sudut pandang orang ketiga pencerita, dapat diambil beberapa pesan bahwa penulis memiliki pandangan yang berbeda terkait Jepang kala itu. Banyak dialog yang menyanjung kekaisaran Jepang. Selain itu, betapa bangganya sosok Amir digambarkan sebagai seorang yang rela membela tanah air dan begitu membenci imperialisme Barat dahulu. Kekuasaan Jepang di Indonesia dan berbagai kebijakannya dianggap sebagai zaman baru yang memberikan banyak manfaat dibanding zaman sebelumnya yang mengungkung pemikiran-pemikiran. Bahwa di zaman baru itu telah banyak terjadi perubahan, mulai dari tukang becak, polisi yang ramah, dan loket pengunjung yang tidak dipisahkan antara golongan Eropa dan pribumi.

Bagi penulis, membaca sesuatu pujian yang teramat ini terasa tidak alami. Sanjungan-sanjungan kepada Jepang dalam novel ini terkesan begitu memaksa dan membuat penulis sendiri ingin mencari pesan yang mungkin saja diselipkan. Penulis merasa antara pesan dari penulis dengan propaganda itu masih terasa kabur dan bias. Terkait perubahan zaman, ‘penginsafan’ (kesadaran bersama), dan kerelaan hati untuk membela tanah air itu memang adalah pesan yang ingin disampaikan, dan barangkali sengaja dikaburkan agar bisa ‘aman’ dari pengawasan Jepang. Maka sebagai penutup, penulis menekan inti pesan dari novel ini bahwa sebagai bangsa yang berbudaya, apa pun itu, dari Barat ataupun Timur, kita memiliki budaya sendiri yang mesti kita lestarikan dan tidak terpengaruh dari budaya luar dan ‘menginsafkan’ diri agar tetap merdeka dari segala belenggu yang mengganggu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun