Sejarah Ikhwanul Muslimin
Ikhwanul Muslimin adalah sebuah organisasi dengan orientasi islam yang didirikan pada tahun 1928 di Mesir oleh Hassan Al-Banna.Dari latar belakangnya, Ikhwanul Muslimin hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi yang dilakukan oleh kaum Barat dengan kolonialisme nya terhadap negara-negara Muslim.Negara Barat memulai dominasinya di kawasan timur tengah ketika hegemoni dari kekhalifahan Ottoman Turki meredup.Kondisi itu menyebabkan negara-negara Muslim pada saat itu mengalami disintegrasi sehingga mengakibatkan perpecahan yang berujung pada terbagi-baginya wilayah kekuasaan kedalam negara-negara kecil dengan pemerintahan yang sangat lemah.
Dengan situasi kaum Muslim yang kian melemah dan secara tidak langsung kehilangan identitasnya, kaum Barat melakukan manuver politiknya dengan melancarkan strategi adu domba yang mengakibatkan negara-negara Islam saling bermusuhan satu sama lainnya.Strategi tersebut dinilai sangat efektif bagi kaum Barat untuk dapat menghegemonikan kekuasaanya di kawasan Timur Tengah.
Melihat kesempatan tersebut, kaum Barat mulai untuk menancapkan pengaruh-pengaruh dialektis mereka dengan paham sekularisme dan materialisme.Mereka membawa gelombang westernisasi dan menyebarkan pengaruhnya keseluruh lapisan elemen kehidupan di kawasan Timur Tengah salah satunya adalah Mesir.Di Mesir sendiri, mulai timbul reaksi dari kondisi umat yang terpuruk akibat arus westernisasi yang sangat kuat.Dengan situasi tersebut, munculah seruan untuk adanya sebuah kebangkitan dan penyelamatan.Seruan ini digaungkan oleh seorang tokoh yang memiliki pengaruh kuat di wilayah Mesir yakni Hassan Al-Banna.
Dalam masa perintisannya, Hassan Al-Banna mendirikan Ikhwanul Muslimin didukung oleh beberapa tokoh antara lain adalah Hafiz Abdul Hamid, Ahmad Al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz, dan Zaki Al-Maghribi.Keenam tokoh tersebut mendedikasikan hidupnya dengan menawarkan harta kekayaanya demi kepentingan Ikhwanul Muslimin.
Fase Perkembangan Ikhwanul Muslimin
Perlu diketahui bahwa pergerakan dari Ikhwanul Muslimin terbagi kedalam beberapa fase yang diantaranya adalah perintisan, pembinaan dan perkembangan, pembinaan dan perjuangan, dan revolusi.
Pada Fase Perintisan (1928-1932), Ikhwanul Muslimin memusatkan gerakannya pada bidang dakwah secara universal yang dimana dakwah ini tidak terbatas kepada orang-orang Muslim saja melainkan kepada seluruh masyarakat.Perkembangan Ikwanul Muslimin dalam fase ini ditandai dengan berbagai pembangunan sarana dan prasarana di Mesir yang menunjang berbagai aspek kehidupan masyarakat antara lain seperti kantor pusat, madrasah tandzhib, sekolah ma'had, forum kajian dan ceramah, penerbitan majalah Al-Fath, dan lainnya.
Kemudian masuk pada Fase Pembinaan dan Perkembangan (1932-1939), pada fase ini Ikhwanul Muslimin yang dipimpin oleh Hassan Al-Banna mulai menulis surat-surat kepada raja, perdana menteri, dan penguasa jazirah Arab lainnya untuk memberikan dukungan terhadap gerakannya dalam mengkampanyekan tatanan Islam.Tidak hanya itu, dua tahun setelahnya Hassan Al-Banna kembali menyerukan peringatan terhadap penguasa Mesir untuk membubarkan partai politik yang ada di negara tersebut yang dianggap oleh dirinya melakukan tindakan korupsi serta berpotensi menimbulkan perpecahan dalam Mesir.
Fase pembinaan dan perjuangan (1939-1952), dalam periode fase ini Ikhwanul Muslimin memanfaatkan situasi dari Perang Dunia II untuk memperkuat usaha serta menyempurnakan kekuatan yang dimilikinya.Hal ini dibuktikan dengan keterlibata Ikhwanul Muslimin dalam peperangan melawan Israel di kawasan Palestina ditahun 1948.Implikasi dari tindakan tersebut adalah semakin kuatnya pengaruh Ikhwanul Muslimin di kawasan Timur Tengah dan telah menyebar ke kawasan Suriah, Sudan, Yordania, Kuwait, dan beberapa negara lainnya.
Dalam situasi gemilang ini, gerakan dari Ikhwanul Muslimin malah dibekukan oleh pemerintahan Mesir.Muhammad Fahmi Naqrasyi selaku Perdana Menteri Mesir pada saat itu menganggap bahwa Ikhwanul Muslimin diduga telah menyerang orang-orang Inggris dan Yahudi.Pada 1949 pemimpin gerakan ini yakni Hasan Al-Banna meninggal dunia dengan dibunuh oleh seseorang yang tidak diketahui identitasnya.Di tahun berikutnya, pemerintah Mesir melakukan rehabilitasi terhadap Ikhwanul Muslimin yang pada saat itu dipimpin oleh Hasan Al-Hudhaibi.
Fase Revolusi (1952-1954), Pada fase akhir ini Ikhwanul Muslimin memfokuskan pergerakannya dalam sifat revolusi untuk mengusut kematian dari pemimpinnya yakni Hasan Al-Banna.Ikhwanul Muslimin seringkali mengalami konflik dengan pemerintah Mesir karena perbedaan pandangan ideologis.
Pada tahun 1954, Ikhwanul Muslimin memiliki tujuan lain yakni edukatif politis dimana gerakan tersebut menjadikan kegiatan politik sebagai upaya dalam pembentukan mobilitas dan target politik tertentu.Eksistensi gerakan ini pada akhirnya meredup setelah ditumpas pemerintah Mesir di tahun 1965 karena diduga sebagai dalang dari pembunuhan Presiden Gamal Abdul Nasser.Hingga di tahun 1980-an, trend  gerakan Ikhwanul Muslimin kembali pada pamornya dikarenakan organisasi ini kembali menjadi organisasi Islam terbesar dan terkuat serta berupaya kembali masuk ke politik dan menduduki kursi parlemen.
Analisis Perspektif Politikal-Saintifik
Tak dapat dipungkiri keberhasilan yang diperoleh Ikhwanul Muslimin telah mengantarkan Islam kedalam titik kebangkitan kejayaanya kembali.Di tengah Hegemoni dari Barat dengan kolonialismenya, Ikhwanul Muslimin sukses menandingi dominasi arus westernisasi dengan menyebarkan semangat Daulah Islamiyah ke seluruh penjuru kawasan Timur Tengah bahkan seluruh dunia.Fenomena gerakan Ikhwanul Muslimin sendiri secara tidak langsung merupakan bentuk implementasi dari teori-teori mengenai gerakan sosial dan politik.
Dalam teorinya, gerakan sosial dan politik terbentuk atas beberapa perspektif yakni antara lain adalah Resource Mobilization, Value-Added, Assembling Perspective, Emergent-Norm Perspective, dan New Social Movement.Namun dalam fenomena gerakan Ikhwanul Muslimin kajiannya hanya berfokus pada empat perspektif saja karena pada New Social Movement aspek kajiannya menitikberatkan pada permasalahan hak asasi manusia bukan pada aspek sosial-politik.
Resource Mobilization, dalam perspektif ini suatu gerakan sosial atau politik muncul ketika kondisi dari seseorang yang memiliki akses pada sumber daya yang memungkinkan dirinya dapat mengorganisasikan suatu gerakan.Teori ini dikemukakan oleh John Mc Carthy dan Mayer Zald pada tahun 1977.Konteks sumber daya yang dimaksud disini merujuk kepada sumber daya manusia yang dimana hal ini merupakan faktor penting dari terciptanya suatu gerakan.
Pada fenomena gerakan Ikhwanul Muslimin, Hassan Al-Banna merupakan seorang yang memiliki kuasa atas sumber daya manusia yang dimana membuat dirinya mampu untuk melakukan mobilisasi terhadap masyarakat Mesir dengan tujuan untuk pengorganisasian Ikhwanul Muslimin.Dirinya memiliki pengaruh yang kuat atas dinamika yang terjadi di Mesir pada saat itu dan juga sebagai pemantik dari gerakan Ikhwanul Muslimin.
Value-Added, perspektif ini memandang bahwa pengembangan dari gerakan sosial atau politik memerlukan suatu kondisi-kondisi tertentu.Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Neil Smelser pada tahun 1962.Dalam teori ini, disebutkan bahwa gerakan sosial merupakan sebuah implikasi atas perubahan sosial yang terjadi dengan cepat.Smelser menyebut bahwa terdapat enam hal yang diperlukan untuk dapat memunculkan Collective Action.Keenam hal itu antara lain adalah kondusifitas struktural, ketegangan struktural, keyakinan umum, faktor pencetus, mobilisasi aksi, dan kontrol sosial.
Pada fenomena gerakan Ikhwanul Muslimin, keenam hal dalam perspektif Value-Added dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- Kondusifitas Struktural, struktur lapisan dari masyarakat Mesir semuanya menerima ideologi yang disebarkan oleh Ikhwanul Muslimin sehingga tidak menimbulkan perbedaan pandangan dalam pemahaman ideologisnya.Sehingga hal tersebut memunculkan situasi kondusif di dalam struktur masyarakat.
- Ketegangan Struktural, dalam situasi ini masyarakat Mesir tengah mengalami permasalahan sosial yang cukup serius dimana hal tersebut berdampak pada struktur sosial serta sistem sosial di Mesir.Permasalahan tersebut adalah dampak dari kolonialisme yang terjadi di Mesir.
- Keyakinan Umum, hegemoni dari kaum Barat melalui kolonialisme berdampak pada kondisi psikologis dari masyarakat Mesir.Kolonialsme melahirkan suatu keyakinan umum yang dimana dimensinya bukan hanya pada kawasan Mesir melainkan seluruh kawasan Timur Tengah bahkan seluruh dunia.Bentuk keyakinan umum dalam konteks ini adalah keinginan untuk terbebas dari jeratan kolonialisme Barat.
- Faktor Pencetus, diidentifikasi dalam fenomena gerakan Ikhwanul Muslimin bahwa faktor pencetus dari gerakan tersebut karena kuatnya hegemoni kekuasaan Barat di kawasan Timur Tengah pasca keruntuhan kekhalifahan Ottoman Turki.
- Mobilisasi Aksi, Hassan Al-Banna menyebarluaskan pengaruh Ikwanul Muslimin melalui berbagai cara seperti pembangunan sarana dan prasarana, kajian dan ceramah, penerbitan majalah dan surat kabar, dan lainnya.Hal ini dilakukannya agar dapat melakukan framing terhadap seluruh masyarakat Muslim di seluruh dunia untuk melakukan perlawanan terhadap kaum Barat.
- Kontrol Sosial, Gerakan Ikhwanul Muslimin ini pada akhirnya direspon secara keras oleh pemerintahan Mesir dengan membekukan gerakan tersebut karena dinilai terlalu ekstrim dan anarkis.
Assembling Perspective, teori ini memiliki pandangan bahwa individu dalam sebuah kelompok gerakan sosial atau politik merupakan individu yang rasional dan independen, sedangkan kerumunan adalah kelompok yang secara aktif melakukan tindakan untuk tujuan kolektif.Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Mc Phail dan Miller pada tahun 1973.
Dalam fenomena gerakan Ikhwanul Muslimin, individu berorientasi pada seluruh masyarakat di dunia yang secara indpenden dan rasional memilih untuk ikut terlibat dalam gerakan ini tanpa adanya pemaksaan dari pihak manapun.Dengan kata lain, dengan adanya keyakinan umum dari setiap individu membuat pilihan rasional bagi seluruh individu untuk ikut memperjuangkan nasibnya melalui gerakan Ikhwanul Muslimin.Sedangkan kerumunan, berorientasi pada anggota Ikhwanul Muslimin yang secara masif melakukan kegiatan kampanye dan kaderisasi demi memperkuat basis strukturalnya.
Emergent-Norm Perspective, teori ini beranggapan bahwa latar belakang dari terjadinya suatu gerakan sosial atau politik adalah terdapat norma baru yang muncul akibat dari perubahan sosial.Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Turner dan Killian pada tahun 1972.Dasar dialektis dalam perspektif ini adalah bagaimana suatu norma dapat berubah sehingga diperlukannya suatu gerakan sosial atau politik yang rasional sebagai respon atas perubahan baru yang dinamis.
Dalam fenomena gerakan Ikhwanul Muslimin, sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa gerakan ini hadir sebagai bentuk perlawanan atas hegemoni kaum Barat di kawasan Timur Tengah terutama di Mesir.Kolonialisme yang dilakukan oleh kaum Barat di kawasan Timur Tengah khususnya Mesir membawa dampak buruk terhadap kondisi sosial di wilayah tersebut.Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dinilai menyengsarakan masyarakat Mesir pada masa itu.Tak hanya itu kolonialisme Barat di Mesir juga memberikan pengaruh terhadap situasi politik pada saat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H