Mohon tunggu...
Muhammad Syaikal
Muhammad Syaikal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa UPNVJ Program Studi Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Literasi Digital dan Hoax

11 November 2024   23:34 Diperbarui: 11 November 2024   23:56 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, literasi digital menjadi keterampilan yang semakin penting dimiliki oleh setiap individu. Literasi digital bukan hanya kemampuan untuk mengakses informasi di dunia maya, tetapi juga keterampilan untuk menyaring, mencari, dan menggunakan informasi secara efektif dan selektif. Sebagai pengguna media online, kita dituntut untuk memiliki kemampuan mengenali informasi yang benar, serta waspada terhadap misinformasi, hoaks, dan propaganda yang banyak beredar di media sosial. Seiring dengan berkembangnya dunia digital, kita dihadapkan pada ledakan informasi yang tak terbendung. Informasi dari berbagai sumber baik yang terverifikasi maupun yang tidak terus mengalir deras di platform-platform digital. Hal ini menciptakan tantangan tersendiri bagi masyarakat: bagaimana memilah dan memilih informasi yang benar di tengah kebisingan dunia maya. Tanpa keterampilan literasi digital yang memadai, kita bisa dengan mudah terjebak dalam informasi yang salah atau bahkan menyesatkan. Salah satu bentuk penyalahgunaan informasi di dunia maya adalah hoaks. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks didefinisikan sebagai informasi bohong atau palsu.

 Menurut Cambridge Dictionary, hoaks adalah rencana atau trik untuk menipu seseorang atau pihak lain. Tujuan hoaks biasanya adalah untuk mengelabui atau merugikan orang banyak. Dalam konteks media sosial, hoaks seringkali digunakan untuk menciptakan kebingungan, menanamkan ketakutan, atau bahkan merusak reputasi seseorang atau kelompok tertentu. Media sosial, yang awalnya dianggap sebagai sarana komunikasi positif, kini menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial memungkinkan kita untuk terhubung dengan orang lain, berbagi informasi, dan memperluas wawasan. Namun di sisi lain, platform-platform ini juga dapat menjadi sarana penyebaran hoaks dan informasi menyesatkan. 

Banyak akun yang mengatasnamakan diri sebagai sumber berita resmi, bahkan yang sudah terverifikasi dengan centang biru, namun sebenarnya memanfaatkan media sosial untuk tujuan komersial atau untuk menyebarkan isu yang tidak benar. Selain itu, keberadaan akun-akun palsu atau "bodongan" yang menyebarkan berita palsu semakin memperkeruh situasi. Tujuan mereka mungkin tidak selalu jelas, tetapi dampaknya bisa sangat merugikan, mulai dari keresahan sosial hingga kerugian finansial bagi individu atau organisasi yang menjadi sasaran hoaks tersebut. Hoaks tidak hanya merugikan dalam ranah sosial dan informasi, tetapi juga bisa berujung pada tindakan kriminal. Salah satu teori yang berkaitan dengan hal ini adalah teori self-control, yang menjelaskan bahwa rendahnya kontrol diri seseorang bisa menjadi salah satu faktor penyebab perilaku kriminal. Menurut teori ini, individu dengan tingkat kontrol diri yang rendah cenderung lebih mudah terlibat dalam tindakan yang merugikan orang lain, termasuk penyebaran hoaks. 

Mereka yang memiliki kemampuan self-control yang rendah, ditambah dengan situasi media sosial yang seringkali dipenuhi dengan konten negatif, lebih cenderung untuk "ikut-ikutan" dalam menyebarkan informasi palsu. Terlebih lagi, di era post-truth seperti sekarang, batas antara fakta dan opini semakin kabur, sehingga banyak orang merasa tidak masalah untuk membagikan informasi yang belum tentu benar. Menghadapi tantangan ini, literasi digital yang baik sangatlah penting. Dengan pemahaman yang tepat, kita bisa lebih bijak dalam menggunakan media sosial dan lebih kritis dalam menerima informasi. Literasi digital bukan hanya soal mengetahui bagaimana menggunakan teknologi, tetapi juga tentang kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis terhadap informasi yang kita temui di dunia maya. Meskipun sudah ada berbagai aturan dan regulasi yang berusaha menangani penyebaran hoaks terutama yang berujung pada tindak pidana pendekatan yang lebih efektif seharusnya tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif. Artinya, kita harus lebih menekankan pendidikan dan peningkatan kesadaran akan pentingnya verifikasi informasi sejak dini. Jika setiap individu dapat lebih bijak dalam menyaring informasi, penyebaran hoaks dapat diminimalisir. Agar bisa menjadi pengguna digital yang bijak, kita perlu meningkatkan literasi digital di masyarakat. Selain itu, kita juga perlu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun