Mohon tunggu...
Muhammad Surya Bhaskara
Muhammad Surya Bhaskara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pertahanan

Saya adalah masyarakat yang hidup di perbatasan negara Indonesia yang memiliki impian dan harapan yang tinggi untuk kemajuan. Saya pernah bersekolah 3 S ( SD, SMP, SMA ) di Natuna lalu melanjutkan kuliah di perguruan tinggi tercintaa Institut Pemerintahan dalam Negeri ( IPDN ), kemudian tidak lama melanjutkan ke jenjang Magister Pertahanan prodi Peace and Conflict Resolution di Unhan RI. Tulisan saya ini sebagai bentuk penyaluran pemikiran saya dan tentunya sebagai sarana belajar saya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Antara Harapan dan Realitas: Pengungsian Rohingya di Indonesia

30 Maret 2024   00:03 Diperbarui: 30 Maret 2024   15:07 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rohingya salah satu kelompok  yang paling teraniaya di dunia

Krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya telah menjadi sorotan dunia internasional selama beberapa tahun terakhir. Sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia, Rohingya menghadapi diskriminasi yang berkepanjangan dan kekerasan brutal di Myanmar, yang memaksa mereka untuk melarikan diri demi keselamatan. 

Sejak tahun 2017, gelombang eksodus besar-besaran telah terjadi, dengan ratusan ribu pengungsi Rohingya mencari perlindungan di negara-negara tetangga, termasuk Bangladesh, Malaysia, dan Indonesia. Mereka meninggalkan tanah air mereka dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih aman dan lebih baik di tempat lain.

konflik rohingya dan pemerintah Myanmar ini berawal sejak pemerintahan Junta Militer merebut kekuasaan melalui kudeta pada tahun 1962, politik diskriminasi terhadap etnik minoritas mulai diberlakukan hal lain terjadi di negara bagian Rakhine yang berbatasan dengan Bangladesh. 

Di wilayah ini terdapat etnis Rakhine yang beragama Islam/ Arakan. Jumlah etnis Rohingya diperkirakan meliputi 4% dari penduduk Rakhine, tetapi bila dibanding dengan jumlah penduduk Rakhine yang Budha, muslim Rohingya menjadi kelompok minoritas di Myanmar secara umum jika dibandingkan dengan etnis Burma (Raharjo, 2015: 39). 

terutama terhadap etnis Rohingya yang dianggap bukan orang asli Burma. Pada tahun 1962 ketika Jendral Ne Win melakukan Kudeta hingga Ne Win menjadi Presiden,sistem politik Myanmar langsung berubah menjadi lebih otoriter. 

Etnis rohingya dianggap rezim Ne Win sebagai sebuah ancaman sehingga dilancarkanlah sebuah operasi untuk menumpas pergerakan separatis dan mengontrol penduduk Rohingya pada tahun 1978 (Triono, 2014: 2), dan mengakibatkan hijrahnya etnis Rohingya ke Bangladesh. 

Pada masa rezim Ne Win hingga tahun 2000, etnis Rohingya mengalami keadaan diskriminasi yang sangat berat. Kebijakan Burmanisasi dilakukan melalui marginalisasi orang-orang Muslim Rohingya. Munculnya kebijakan ini pada tahun 1982 yang disebut Burma Citizenship Law (BCL), yaitu Rohingya tidak mendapat kewarganegaraan, hak atas tanah, dan pendidikan serta pekerjaan yang layak dan cukup (Mitzy, 2014: 154) . 

Akses mereka untuk berpindah, menikah, dan mencari pekerjaan dibatasi dan harus mendapat izin terlebih dahulu dengan membayar uang sogokan. Mereka juga hanya diperbolehkan untuk memiliki maksimal dua anak per keluarga dan tidak diberikan sertifikat kelahiran untuk anak mereka. 

Hak anak-anak Muslim Rohingya untuk mengakses pendidikan dan pelayanan kesehatan dasar juga sangat dibatasi. Upaya - upaya lainnya yang dilakukan junta militer Myanmar adalah mempengaruhi gaya hidup etnis Rohingya yang beragama Islam untuk pindah ke agama Budha.

Pada masa rezim militer mulai era Ne Win berkuasa hingga tahun 2000, etnis Rohingya mengalami situasi yang berat, hingga puncaknya konflik mengalami eskalasi pada tahun 2012, di mana pemberitaan media internasional mulai membuka fakta-fakta terjadinya konflik yang ada di Rohingya. 

Adanya kasus ini kemudian memancing etnis Rakhine yang kemudian berujung pada lingkaran konflik yang tidak terhenti. Pada Juli 2012, konflik ini memuncak dengan adanya pembakaran besar-besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh etnis Rohingya serta penyerangan yang dilakukan oleh kedua etnis (Triono, 2014: 2 -3). 

Banyak faktor yang menjadi pemicu awal meledaknya konflik di Provinsi Rakhine terhadap etnis Rohingya. Tidak hanya pemerintahan yang otoriter atau kejam dalam memimpin rakyatnya, tetapi konflik yang terjadi juga terletak pada penggolongan etnis. Akar yang menjadi awal konflik ini terjadi ialah adanya kecemburuan sosial terhadap etnis Rohingya yang dalam beberapa dasawarsa terus meningkat. 

Meskipun sebagai etnis minoritas  tetapi etnis Rohingya mampu terlibat dan bekerja dalam pemerintahan Myanmar. Hal ini menyebabkan kecurigaan dan kecemburuan pada etnis mayoritas Rakhine. Bagi mereka keberadaan etnis Rohingya dianggap dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu dan mengurangi hak lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan, Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim. Kemudian pada tahun 1962 Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tahun 1982 telah meniadakan Rohingya sebagai etnis di Myanmar. 

Selanjutnya peniadaan ini adalah menghilangkan dan membatasi etnis Rohingya dalam hal yaitu: hak untuk bebas bergerak dan berpindak tempat, hak untuk menikah dan memiliki keturunan, hak atas Pendidikan, hak untuk berusaha dan berdagang, hak untuk bebas berkeyakinan dan beribadah, dan hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan (Islamedia, 2012). 

Sejatinya Etnis Rohingya tidak ada niatan memisahkan diri dan merdeka dari Myanmar, mereka hanya ingin diakui sebagai warga negara Myanmar yang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan serta bebas berekspresi dan beribadah dalam menjalankan agamanya.

Tanggapan internasional terhadap krisis ini telah bervariasi. Beberapa negara, termasuk Indonesia, Bangladesh, dan Malaysia, telah membuka pintu mereka untuk pengungsi Rohingya, meskipun dengan tantangan dan batasan tersendiri. Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga hak asasi manusia telah menyerukan tindakan yang lebih tegas terhadap Myanmar dan upaya yang lebih besar untuk melindungi hak-hak Rohingya. Namun, solusi jangka panjang untuk krisis ini masih belum tercapai, dan banyak pengungsi Rohingya yang tetap hidup dalam kondisi yang sangat sulit di kamp-kamp pengungsian. 

Indonesia, sebagai negara yang berkomitmen pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan solidaritas, telah membuka pintunya bagi sejumlah pengungsi Rohingya. Namun, kehadiran mereka di tanah air tidak tanpa tantangan. Reaksi masyarakat Indonesia terhadap kedatangan pengungsi ini bervariasi, mulai dari empati dan dukungan hingga kekhawatiran dan ketidakpuasan. 

Beberapa laporan menunjukkan bahwa ada keluhan dari warga lokal terkait dengan sikap dan perilaku sebagian pengungsi, yang dianggap kurang menghargai bantuan yang diberikan. Isu-isu seperti ketidakpuasan terhadap kondisi tempat tinggal, permintaan makanan tambahan, kriminalitas, kebersihan dan permintaan akan tanah telah menimbulkan diskusi tentang bagaimana sebaiknya Indonesia menangani situasi pengungsi ini.

Pertahanan dalam Konteks Pengungsi Rohingya di Indonesia

Buzan, Wæver, & de Wilde (1998): "Security is about survival. It is when an issue is presented as posing an existential threat to a designated referent object (traditionally, but not necessarily, the state, incorporating government, territory, and society) that it becomes a security issue." (Security: A New Framework for Analysis, p. 21) 

Teori pertahanan membahas bagaimana negara-negara menjaga keamanan dan stabilitas nasional mereka dalam menghadapi berbagai ancaman, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pengungsi. Dalam konteks pengungsi Rohingya di Indonesia, teori pertahanan dapat diaplikasikan untuk memahami bagaimana pemerintah Indonesia menangani masalah keamanan dan stabilitas yang timbul dari kedatangan pengungsi.

Menurut Buzan, Wæver, & de Wilde (1998), keamanan adalah tentang bertahan hidup dan melindungi objek referensi yang ditetapkan, yang dalam konteks ini adalah negara Indonesia. Pemerintah Indonesia harus menyeimbangkan antara memberikan perlindungan kepada pengungsi Rohingya dan memastikan keamanan nasional serta stabilitas masyarakat.

Pengelolaan Arus Pengungsi
Pengelolaan arus pengungsi melibatkan koordinasi antara berbagai lembaga pemerintah, termasuk militer dan kepolisian, untuk memantau dan mengatur kedatangan pengungsi. Hal ini penting untuk mencegah masuknya elemen-elemen yang dapat mengancam keamanan, seperti penyelundupan manusia atau potensi teroris. walau pun sempat terjadi kasus kriminalitas seperti yang dikutip di RRI.co.id "KBRN, Lhokseumawe: Kepolisian Daerah (Polda) Aceh melaporkan bahwa penanganan kasus tindak kejahatan yang melibatkan Imigran Etnis Rohingya di Aceh sejak tahun 2015 hingga tahun 2023 ini, terdapat 17 kasus." namun hal ini sudah di tindak lanjuti dan di proses secara hukum. hal ini dapat meredam gejolak masyarakat yang menjadikan hal ini alasan untuk menolak pengungsian dari Rohingya.

Kerjasama Regional dan Internasional
Dalam konteks hubungan internasional, Indonesia juga bekerja sama dengan negara-negara lain dan organisasi internasional untuk menangani isu pengungsi secara kolektif. Kerjasama ini penting untuk membagi beban tanggung jawab dan memastikan bahwa pengungsi mendapatkan perlindungan yang memadai tanpa mengganggu keamanan nasional Indonesia. Semua negara, termasuk Indonesia, mengakui bahwa mencari suaka adalah hak asasi manusia. 

Negara wajib memberikan perlindungan kepada pengungsi, termasuk pengungsi Rohingya. Di Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dan Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2016, mengatur penerimaan dan penanganan pengungsi di dalam negeri. walau begitu Anggaran untuk pengungsian Rohingya di cover atau ditanggung UNCHR (United Nations High Commissioner for Refugees) dan mitra-mitra kerja tanpa membebani APBN atau APBD apapun sehingga tidak muncul stigma negara lebih mementingkan orang lain ketimbang rakyat sendiri. (Salima S, Mitra, 2023)

Respons Terhadap Dinamika Sosial
Dari perspektif pertahanan, pemerintah Indonesia juga harus memperhatikan dinamika sosial yang muncul akibat interaksi antara pengungsi Rohingya dan masyarakat lokal. Kegiatan pendidikan dan sosialisasi dapat dilakukan untuk mencegah munculnya ketegangan atau konflik yang dapat mengganggu stabilitas sosial. Banyak Dinamika yang terjadi antara masyarakat Indonesia dan Etnik Rohingya terkait stigma negatif. hal ini perlu di respon dengan tepat serta meluruskan hoax yang beredar (Turnbackhoax.co.id) agar tidak menjadi ancaman terhadap stabilitas nasional.

Kesimpulan

Krisis Rohingya merupakan tragedi kemanusiaan yang kompleks dan berkepanjangan, menyoroti diskriminasi dan kekerasan brutal yang dialami etnis Rohingya di Myanmar. Sejak 2017, eksodus besar-besaran terjadi, dengan pengungsi Rohingya mencari perlindungan di negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.Konflik ini berakar pada diskriminasi historis dan politik otoriter Myanmar, yang membatasi hak-hak dasar Rohingya, termasuk kewarganegaraan, pendidikan, dan kebebasan bergerak. Eskalasi konflik pada tahun 2012 dan peniadaan etnis Rohingya pada tahun 1982 menambah penderitaan mereka.Respons internasional terhadap krisis ini bervariasi, dengan beberapa negara, termasuk Indonesia, memberikan perlindungan bagi pengungsi Rohingya. Namun, tantangan integrasi dan keamanan nasional muncul, menuntut keseimbangan antara perlindukan pengungsi dan stabilitas masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, teori pertahanan dapat diaplikasikan untuk memahami bagaimana pemerintah menangani masalah keamanan dan stabilitas yang timbul dari kedatangan pengungsi. Kerjasama regional dan internasional penting untuk membagi beban tanggung jawab dan memastikan perlindungan yang memadai bagi pengungsi. krisis Rohingya membutuhkan solusi komprehensif yang melibatkan dialog, kerjasama internasional, dan upaya kemanusiaan. Indonesia, sebagai bagian dari komunitas internasional, memiliki peran penting dalam memberikan dukungan dan perlindungan bagi pengungsi Rohingya, sekaligus memastikan keamanan dan stabilitas nasional.

Referensi

Nur, Sandy Ikfal Raharjo, 2015. Peran Identitas Agama dalam Konflik di Rakhine Myanmar Tahun 2012-2013. Jurnal Kajian Wilayah, Vol.6 No. 1.

Triono, 2014. Peran ASEAN Dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingya. Jurnal TAPIs Vol.10 No.2 Juli-Desember  

Ichikaya, Gulia Mitzy, 2014. Perlawanan Etnis Muslim Rohingya terhadap Kebijakan Diskriminatif Pemerintah Burma-Myanmar. Indonesian Journal of International Studies, Vol.1, No. 2 Desember

Buzan, B., Wæver, O., & de Wilde, J. (1998). Security: A New Framework for Analysis. Lynne Rienner Publishers. (Buku ini memberikan kerangka untuk memahami isu-isu keamanan dalam konteks internasional, termasuk migrasi dan pengungsi.) 

https://www.rri.co.id/hukum/147101/pelanggaran-hukum-oleh-pengungsi-rohingya-capai-17-kasus 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun