Mohon tunggu...
Muhammad Surya Bhaskara
Muhammad Surya Bhaskara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pertahanan

Saya adalah masyarakat yang hidup di perbatasan negara Indonesia yang memiliki impian dan harapan yang tinggi untuk kemajuan. Saya pernah bersekolah 3 S ( SD, SMP, SMA ) di Natuna lalu melanjutkan kuliah di perguruan tinggi tercintaa Institut Pemerintahan dalam Negeri ( IPDN ), kemudian tidak lama melanjutkan ke jenjang Magister Pertahanan prodi Peace and Conflict Resolution di Unhan RI. Tulisan saya ini sebagai bentuk penyaluran pemikiran saya dan tentunya sebagai sarana belajar saya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Antara Harapan dan Realitas: Pengungsian Rohingya di Indonesia

30 Maret 2024   00:03 Diperbarui: 30 Maret 2024   15:07 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generate by Artificial Intelligent

Pada masa rezim militer mulai era Ne Win berkuasa hingga tahun 2000, etnis Rohingya mengalami situasi yang berat, hingga puncaknya konflik mengalami eskalasi pada tahun 2012, di mana pemberitaan media internasional mulai membuka fakta-fakta terjadinya konflik yang ada di Rohingya. 

Adanya kasus ini kemudian memancing etnis Rakhine yang kemudian berujung pada lingkaran konflik yang tidak terhenti. Pada Juli 2012, konflik ini memuncak dengan adanya pembakaran besar-besaran terhadap perumahan yang dihuni oleh etnis Rohingya serta penyerangan yang dilakukan oleh kedua etnis (Triono, 2014: 2 -3). 

Banyak faktor yang menjadi pemicu awal meledaknya konflik di Provinsi Rakhine terhadap etnis Rohingya. Tidak hanya pemerintahan yang otoriter atau kejam dalam memimpin rakyatnya, tetapi konflik yang terjadi juga terletak pada penggolongan etnis. Akar yang menjadi awal konflik ini terjadi ialah adanya kecemburuan sosial terhadap etnis Rohingya yang dalam beberapa dasawarsa terus meningkat. 

Meskipun sebagai etnis minoritas  tetapi etnis Rohingya mampu terlibat dan bekerja dalam pemerintahan Myanmar. Hal ini menyebabkan kecurigaan dan kecemburuan pada etnis mayoritas Rakhine. Bagi mereka keberadaan etnis Rohingya dianggap dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu dan mengurangi hak lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan, Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim. Kemudian pada tahun 1962 Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tahun 1982 telah meniadakan Rohingya sebagai etnis di Myanmar. 

Selanjutnya peniadaan ini adalah menghilangkan dan membatasi etnis Rohingya dalam hal yaitu: hak untuk bebas bergerak dan berpindak tempat, hak untuk menikah dan memiliki keturunan, hak atas Pendidikan, hak untuk berusaha dan berdagang, hak untuk bebas berkeyakinan dan beribadah, dan hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan (Islamedia, 2012). 

Sejatinya Etnis Rohingya tidak ada niatan memisahkan diri dan merdeka dari Myanmar, mereka hanya ingin diakui sebagai warga negara Myanmar yang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan serta bebas berekspresi dan beribadah dalam menjalankan agamanya.

Tanggapan internasional terhadap krisis ini telah bervariasi. Beberapa negara, termasuk Indonesia, Bangladesh, dan Malaysia, telah membuka pintu mereka untuk pengungsi Rohingya, meskipun dengan tantangan dan batasan tersendiri. Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga hak asasi manusia telah menyerukan tindakan yang lebih tegas terhadap Myanmar dan upaya yang lebih besar untuk melindungi hak-hak Rohingya. Namun, solusi jangka panjang untuk krisis ini masih belum tercapai, dan banyak pengungsi Rohingya yang tetap hidup dalam kondisi yang sangat sulit di kamp-kamp pengungsian. 

Indonesia, sebagai negara yang berkomitmen pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan solidaritas, telah membuka pintunya bagi sejumlah pengungsi Rohingya. Namun, kehadiran mereka di tanah air tidak tanpa tantangan. Reaksi masyarakat Indonesia terhadap kedatangan pengungsi ini bervariasi, mulai dari empati dan dukungan hingga kekhawatiran dan ketidakpuasan. 

Beberapa laporan menunjukkan bahwa ada keluhan dari warga lokal terkait dengan sikap dan perilaku sebagian pengungsi, yang dianggap kurang menghargai bantuan yang diberikan. Isu-isu seperti ketidakpuasan terhadap kondisi tempat tinggal, permintaan makanan tambahan, kriminalitas, kebersihan dan permintaan akan tanah telah menimbulkan diskusi tentang bagaimana sebaiknya Indonesia menangani situasi pengungsi ini.

Pertahanan dalam Konteks Pengungsi Rohingya di Indonesia

Buzan, Wæver, & de Wilde (1998): "Security is about survival. It is when an issue is presented as posing an existential threat to a designated referent object (traditionally, but not necessarily, the state, incorporating government, territory, and society) that it becomes a security issue." (Security: A New Framework for Analysis, p. 21) 

Teori pertahanan membahas bagaimana negara-negara menjaga keamanan dan stabilitas nasional mereka dalam menghadapi berbagai ancaman, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pengungsi. Dalam konteks pengungsi Rohingya di Indonesia, teori pertahanan dapat diaplikasikan untuk memahami bagaimana pemerintah Indonesia menangani masalah keamanan dan stabilitas yang timbul dari kedatangan pengungsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun