Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (34)

27 Desember 2011   07:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:42 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel Muhammad Subhan

Kami menempati sebuah rumah kontrakan di Kruenggeukueh, dekat pasar, dekat pula kantor pos. Di depannya puskesmas. Deretan rumah kontrakan itu ada enam pintu. Rumah kami di pintu ke tiga. Tak berpagar. Hanya punya satu bilik tidur. Satu dapur dan satu kamar mandi tak bersumur. Kalau mau mandi air harus ditimba dulu di sumur umum yang jaraknya beberapa meter dari rumah. Kakus begitu pula. Kakus umum dua pintu berada di luar rumah. Di belakang rumah kami itu ada sebatang pohon belimbing tua.

Karena aku sudah besar, aku tidak tidur lagi sekamar dengan bapak dan ibu. Aku tidur di ruang tamu, tidur di atas sehelai tikar pandan kecil yang dibentang di lantai bersemen halus. Tak berkasur. Walau demikian aku menikmati semua itu.

Salah satu tetangga sebelah rumah kami suami istri orang Minang. Tetangga lainnya orang Aceh. Bapak dan ibu cepat akrab bertetangga. Semuanya ramah-ramah dan merasa senasib sepenanggungan. Wak Ir, tetangga sebelah rumah kami yang orang Minang itu sangat akrab dengan ibuku yang sama-sama orang Minang. Wak Ir sering mengantarkan makanan ke rumah. Masakannya enak. Memang di mana pun, kata Ibu, orang Minang pandai memasak. Tak heran kalau orang Minang sering membuka warung makan, namanya Rumah Makan Padang.

Agar tidak terlambat pergi ke tempat kerja, pagi-pagi sekali bapak sudah berangkat ke Lhokseumawe. Jarak rumah kami di Kruenggeukueh dengan jalan raya lebih kurang 1 kilometer. Bapak berjalan kaki ke simpang jalan raya itu. Sepeda ontanya tidak dibawa, tinggal di rumah. Sesampainya di tepi jalan raya bapak menunggu bus BE yang datang dari Bireuen menuju Lhokseumawe. Sekitar setengah jam perjalanan sampailah bapak di tempat kerjanya di tengah kota Lhokseumawe. Begitulah yang bapak lakukan setiap hari. Tak pernah kenal hari libur.

Kampung Kruenggeukueh ternyata pemukiman yang ramai. Pasarnya pekan setiap hari minggu. Bermacam orang datang membawa dagangan dari daerah-daerah sekitar kampung itu. Bila hari pekan berdirilah tenda-tenda pedagang di sepanjang jalan di dalam pasar. Bermacam barang dijual orang. Aku sering bermain-main di dalam pasar bila tiba hari pekan melihat aktivitas pedagang dan pembeli. Pemandangan itu sangat mengasyikkan sekali.

Di tengah kampung ada sebuah lapangan sepakbola yang luas. Anak-anak seusiaku banyak bermain bola di sana. Lapangan itu berbatas sebuah tembok tinggi, dibaliknya pabrik pupuk ASEAN. Dari jauh aku lihat beberapa buah menara tinggi, cerobong yang mengepulkan asap amoniak yang pada hari-hari tertentu terasa menyengat datang dari pabrik itu. Tapi semua penduduk di sekitar pabrik sudah maklum saja, mereka rukun berdampingan dengan pabrik, sebab banyak juga warga yang bekerja sebagai pegawai di sana.

Di dekat rumahku ada sebuah kantor polisi. Di depannya berdiri gagah masjid raya nan megah. Namanya Masjid Bujang Salim. Bujang Salim nama seorang pejuang Aceh yang melawan Belanda. Kuburannya di dekat masjid itu. Bila tiba waktu salat masuk, dari corong masjid di atas menara tinggi bergemalah suara azan yang dikumandangkan muazin dengan sangat indah dan merdunya. Di Aceh, muazin sering dipanggil dengan sebutan bilal. Mungkin karena tukang azan di zaman Nabi bernama Bilal bin Rabbah, seorang kulit hitam sahabat Nabi yang sangat bagus suaranya ketika disuruh Nabi mengumandangkan azan untuk memanggil orang salat. Bila salat Magrib dan Isya masuk, aku lihat di masjid itu orang sangat ramai salat berjamaah. Jangan kau heran kawan bila kau lihat di masjid itu bersaf-saf panjangnya orang salat, baik laki-laki maupun perempuan.

Sehabis salat, jemaah tak langsung pulang. Imam memimpin zikir dan doa panjang. Bacaan zikirnya indah sekali. Berirama yang didendangkan. Begitu pun salawat Nabi. Imam yang memimpin itu tentulah orang-orang pilihan yang ditunjuk pengurus masjid sehingga semakin betah orang beribadah di dalam masjid. Umumnya mereka para Teungku lulusan pesantren (dayah) di Aceh. Sungguh, suasana di Kruenggeukueh benar-benar berbeda aku rasakan, banyak pengetahuan yang baru aku dapatkan.

Alhamdulillah, akhirnya aku melanjutkan sekolah. Bapak memasukkan aku ke SMP Paloh Lada, disingkat Palda. Di hari senin itu bapak tidak bekerja, membonceng aku dengan sepeda tuanya ke Palda untuk mendaftarkan aku sekolah. Hari itu sangat ramai para orangtua dan wali siswa mendaftarkan anak-anak mereka. SMP itu satu-satunya sekolah lanjutan di Kruenggeukueh. Disebelahnya berdiri sebuah SMA. Kedua sekolah itu berada di perbukitan. Jalannya agak menanjak. Ketika naik jalan tanjakan bapak menyuruh aku turun, lalu kami berjalan bersama sembari aku dorong sepeda bapak dari belakang.

SMP Palda tempat aku bersekolah dibatasi tembok tinggi yang dibaliknya terdapat komplek perumahan PT ASEAN. Di perumahan itulah tinggal para karyawan pabrik pupuk itu. Tentu mereka karyawan yang berkelas sebab rumahnya bagus-bagus. Setiap rumah ada sebuah kendaraan roda empat mewah. Banyak taman di jalan dan kolam-kolam ikan yang dibuat untuk memperindah panorama di komplek perumahan itu.

Aku diterima masuk SMP Palda tanpa hambatan. Bapak sangat gembira sekali. Siswa yang mendaftar sangat banyak. Yang tertampung hanya untuk tujuh kelas. Aku mendapat tempat duduk di kelas I-3. Ada guru yang menyebut, kelas yang kami tempati sesuai dengan peringkat tertinggi di raport kami. Kalau siswa yang duduk di kelas I-1, tentu di dalamnya banyak siswa berprestasi. Begitupun di kelas I-2. Aku bersyukur bisa duduk di kelas I-3, tak terlalu jauhlah kalau diukur dari prestasi di raport. Untung saja aku tidak duduk di kelas I-7, kelas yang paling belakang urutannya, paling pojok pula ruang kelasnya.

Aku mulai belajar dengan tekun di sekolah. Pagi-pagi sekali seusai sarapan dengan dua potong kue dan segelas teh hangat, aku berpamitan kepada bapak dan ibu. Bila ada uang aku menumpang angkot ke sekolah. Angkot di Aceh bernama Labi-labi. Tapi aku lebih banyak berjalan kaki daripada naik Labi-labi. Kadang aku dan bapak keluar rumah bersamaan. Sampai di simpang empat jalan raya, kami berpisah. Aku terus ke arah kanan jalan menuju sekolah, menyisiri jalan setapak di sepanjang pinggiran luar komplek perumahaan ASEAN. Sementara bapak menunggu bus BE ke arah kiri jalan yang akan membawa bapak ke tempat kerjanya di Lhokseumawe.

Di sekolah aku berteman dengan anak-anak seusiaku. Tapi di sekolah itu aku menjadi anak yang pemalu dan minder. Aku paling takut berdekatan dengan kawan-kawan perempuan. Aku menjadi anak yang tak percaya diri. Entahlah kenapa itu bisa terjadi. Satu hal lagi yang membuat aku sangat terusik, jerawat mulai bertumbuhan di wajahku. Mungkin juga karena aku suka makan kacang Arab yang banyak dijual di pasar Kruenggeukueh. Di samping itu aku merasakan pertumbuhan tubuhku semakin cepat. Aku menjadi seorang anak bertubuh jangkung karena badanku kurus. Aku sudah hampir sama tinggi dengan tubuh bapak yang juga jangkung. Aku memang jarang makan. Perutku kempes. Tulang rusuk tampak menonjol keluar. Sarapan nasi tidak di pagi hari. Di sekolah kadang jajan kadang pula tidak. Uang jarang di saku. Makan siang, sekali-kali. Pulang sekolah saja sudah hampir pukul setengah tiga. Kadang makan sehari sekali, malam saja.

Aku senang bersekolah di SMP Palda lantaran sekolah itu punya gedung perpustakaan. Buku-buku sastranya lengkap. Di perpustakaan itulah aku mulai mengenal roman-roman karya pujangga Indonesia, semisal Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Salah Asuhan, Dari Ave Maria Jalan Lain ke Roma, Sengsara Membawa Nikmat, Siti Nurbaya, dan banyak lagi lainnya. Aku mulai menyukai membaca roman-roman yang berbahasa indah itu. Aku juga membaca majalah sastra Horison yang masuk setiap bulannya ke sekolah. Aku suka membaca puisi-puisi dan cerpen di majalah itu. Itulah pertama kali aku berkenalan dengan banyak karya sastra bermutu. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun