Ibu menarik napas dalam-dalam. Lalu melepaskannya pelan. Aku sangat merasakan betapa beratnya pikiran bapak dan ibu saat itu.
“Bapak punya kenalan di Kruenggeukueh, sebuah kampung dekat pabrik pupuk ASEAN. Nanti bapak coba menanyakan apakah ada rumah di sana yang bisa disewa.”
“Berapa jauh kampung itu dari tempat kerja Bapak?”
“Sekitar setengah jam naik bus kota.”
“Jauh sekali. Bagaimana dengan pekerjaan Bapak nanti?” tanya ibu bertambah was-was.
“Aku akan tetap kerja di Lhokseumawe, karena hanya pekerjaan itu yang aku bisa. Aku naik bus saja.”
“Tentu uang keluar akan bertambah, untuk ongkos bus pulang pergi, Pak?”
“Ya, mau bagaimana lagi. Kita harus berhemat, Bu. Semoga di daerah yang baru Allah menambah rezeki kita,” jawab Bapak dengan penuh keyakinan.
Aku hanya menyimak saja berbincangan antara ibu dan bapak dari bilik kamar tidur. Aku bayangkan bapak setiap pagi dan petang pergi pulang naik bus kota ke Lhokseumawe. Kalau bapak lagi dapat uang aku maklumkan keadaan itu, tapi bagaimana bila dalam sehari itu tak seorang pun yang memanfaat jasa bapak? Tentu tak ada uang yang akan dibawa pulang. Mungkin saja bapak akan meminjam uang kepada kawan-kawannya, tapi bila sering dilakukan hanya akan menambah beban pikiran bapak dan ibu. Oh, Tuhan. Bukalah pintu rezeki kedua orangtuaku.
Bulan berganti bulan dan waktu yang ditunggu-tunggu itu datanglah juga. Aku mengikuti ujian akhir. Hasilnya, alhamdulillah aku lulus. Bapak tidak bekerja seharian itu. Bapak datang ke sekolah bersepeda onta dari rumah. Berdebar-debar bapak menunggu hasil pengumuman kelulusan. Itu terlihat dari wajah bapak. Bapak khawatir kalau-kalau aku tidak lulus.
Saat namaku dipanggil kepada sekolah, bapak maju ke muka kelas dengan tergopoh-gopoh. Bu Fauziah, kepala sekolahku tersenyum melihat bapak. Bapak menyalami Bu Fauziah penuh takzim dan bapak duduk di depan meja Bu Fauziah yang diatasnya menumpuk raport dan map berisi ijazah.