Novel Muhammad Subhan
14
SEKOLAH LAGI
Setahun sudah aku menganggur hingga akhirnya bapak memasukkan aku ke SD Negeri 1 Lhokseumawe. Sekolah itu yang disebut-sebut Pak Fakhruddin, kawan bapak ketika kami masih menumpang tinggal di rumahnya. Apa yang disebut Pak Fakhruddin bahwa sekolah itu dihuni anak-anak orang kaya, benarlah nyata terlihat di mataku. Tapi untunglah, walau bapak kurang mampu, aku dapat juga masuk ke sekolah itu. Tentu atas kebaikan kepala sekolahnya yang bijaksana, Bu Fauziah.
“Terima kasih ibu berkenan menerima anak saya,” ucap Bapak dengan mata berbinar-binar kepada Bu Fauziah di ruang kepala sekolah. Aku duduk disamping bapak, tak sedikit pun bersuara. Bu Fauziah memandangku, ia tersenyum melihat keluguanku.
“Nilai rapornya bagus, layaklah si Agam bersekolah di sini. Semoga ia dapat berprestasi,” ujar Bu Fauziah sembari memberi alasan mengapa ia menerimaku masuk di sekolah itu.
“Alhamdulillah, sewaktu di Medan dia rajin belajar. Semoga di sini lebih meningkat lagi nilainya,” jawab Bapak.
Usai berbincang-bincang dan menyelesaikan administrasi, bapak pamit meninggalkan aku sendiri di sekolah itu. Bu Fauziah membawaku ke ruang kelas. Aku duduk di kelas lima. Kelas itu diisi oleh 30 murid, termasuk aku. Bu Fauziah memperkenalkan aku dengan wali kelas dan murid-murid lainnya yang akan menjadi teman-temanku di sekolah itu.
Bu Fauziah meminta aku memperkenalkan diri. Aku takut-takut berbicara dengan sorotan puluhan mata kawan-kawanku. Wajah-wajah mereka serius menatap ke arahku. Wajah-wajah lugu dan polos, wajah kanak-kanak.
“Namaku Agam. Aku ingin menjadi sahabat kalian semua. Bolehkah?” ujarku memperkenalkan diri.
Terdengarlah suara koor seisi kelas, “Boleeehhh....”. Sesudah itu mereka semua tertawa. Aku tersenyum. Aku dianggap lucu sekali oleh mereka. Bu Fauziah juga ikut tertawa.
Itulah pengalaman pertamaku di sekolah baru, sekolah tempat anak-anak orang kaya di Lhokseumawe menimba ilmu. Ada anak dokter, anak pegawai negeri, anak pengusaha, anak kontraktor, anak polisi dan tentara, anak Tionghoa, dan banyak lagi lainnya yang bapak dan ibu mereka orang berpunya. Aku saja yang berbeda dari ratusan anak itu, aku anak tukang sol sepatu!
Sudah pemandangan yang biasa aku saksikan setiap hari di sekolah itu, disaat pagi-pagi menjelang masuk sekolah orangtua teman-temanku mengantar mereka dengan mobil mewah atau sekurang-kurangnya dengan sepeda motor keluaran terbaru. Anak-anak orang kaya itu turun dari kendaraan orangtua mereka dengan gagah, tas ransel menggantung di punggungnya, bergantung pula botol minuman dan tempat makanan di pinggangnya. Disaat turun mobil anak-anak itu menyalami tangan kedua orangtuanya, menciumnya, dan para orangtua itu membalasnya dengan kecupan lembut di kening mereka. Sesudah itu berlambaian tangan mereka. Terlihat sangat bahagia sekali.
Setiap pagi aku diantar bapak ke sekolah dengan sepeda ontanya yang jalannya payah. Rantainya berbunyi-bunyi memekakkan telinga karena rantainya tak diberi oli. Tapi bapak dengan gagah memboncengku ke sekolah. Bapak sangat bangga sekali dapat memasukkan aku ke sekolah itu. Setibanya di gerbang sekolah aku mencium tangan bapak penuh takzim. Bapak membalasnya dengan membelai-belai kepalaku lalu meniup ubun-ubunku sembari membaca doa-doa yang tak jelas di telingaku. Sesudah itu bapak pergi ke tempat kerjanya di Jalan Perdagangan. Beraktivitas sebagai tukang sol sepatu, menunggu langganan atau konsumen baru yang hendak memanfaatkan jasanya. Pulang sekolah aku tak dijemput bapak, aku berjalan kaki pulang yang jauhnya setengah jam perjalanan tiba di rumah.
Bila kau lihat kedua telapak tangan bapakku, akan tampaklah kedua telapak tangannya kasar dan keras. Menandakan beratnya ia bekerja setiap hari mencari nafkah untuk keluarga kami. Bila waktu senggang di saat libur sekolah, aku ikut mendampingi bapak di tempat kerjanya. Aku lihat bapak duduk seharian sembari memandang orang yang lalu lalang, berharap ada yang menjahit sepatu kepadanya. Ketika datang orang itu, aku lihat sangat bersyukurnya bapak menyambutnya. Wajah bapak ceria. Bapak langsung mengerjakan jahitannya. Biasanya bila tak banyak kerja bapak, bapak meminta orang itu menunggunya. Sementara aku duduk didekat bapak, terus memerhatikan bagaimana bapak menjahit. Berkali-kali aku lihat jari bapak tertusuk jarum sol sepatu yang tajam itu. Tapi bapak tidak mengeluh walau aku lihat darah merah segar bercucuran di telapak tangannya. Agar darah itu tidak terus mengucur, bapak memberinya minyak tanah atau spertus yang rasanya sangat perih sekali ketika menyentuh luka. Tapi wajah bapak tidak memperlihatkan kesakitan itu. Aku bergidik ketika minyak itu bapak lumurkan di tangannya yang berdarah ditusuk jarum jahitnya.
Itulah sosok bapakku yang paling aku kagumi. Pada dirinya yang tegar menghadapi susahnya hidup aku mendapatkan banyak keteladanan. Aku bangga mempunyai seorang bapak seperti dirinya. Aku berjanji bila aku besar nanti aku akan membahagiakannya. Ya Allah, sehatkan bapak dan ibuku, panjangkan usia mereka, berikan hamba kesempatan berbakti kepada keduanya. Itulah doa yang selalu aku minta kepada Tuhan.
Di sekolah, sahabatku yang paling dekat dan sama-sama berasal dari keluarga kurang mampu hanyalah seorang, namanya Darmawi. Dia anak tukang bengkel sepeda yang tempat kerja bapaknya tidak jauh dari sekolah kami. Darmawi ini badannya tinggi besar. Sekilas melihatnya seperti anak yang sudah SMP. Tapi nyatanya masih kelas lima, sama seperti aku juga. Kami duduk semeja. Tapi satu hal yang agak kurang pada diri Darmawi, dia sedikit idiot. Dia susah mengingat pelajaran yang sudah diberikan guru. Suka mencontek. Tapi semangat belajarnya tinggi, walau kata guru Darmawi sudah dua kali tinggal kelas.
Di kelas kami Darmawi paling jago menggambar. Beberapa kali dia memenangkan lomba melukis tingkat anak-anak yang digelar pemerintah kota. Bila ada lomba-lomba menggambar, dia yang selalu diutus sekolah. Biasanya dia selalu juara dan membawa pulang piala. Aku teringat, dia memenangkan juara 1 Lomba Menggambar tentang sosok perjuangan Cut Nyak Dhien, pejuang perempuan Aceh yang gagah berani melawan penjajah. Cut Nyak Dhien istri Tengku Umar, yang juga pahlawan Aceh yang membenci Belanda. Lomba melukis itu diadakan organisasi istri tentara yang bertugas di Makodim. Ketika Darmawi mengikuti lomba itu, dialah yang paling unggul diantara anak-anak yang lain. Ketika dia menang, guru-guru mengelu-elukan dirinya.
Melihat ia pandai menggambar, tak sungkan aku minta diajarkan pula. Darmawi senang hati berbagi. Tapi aku lebih banyak melihat dia menggambar dibanding dia mengajari aku, dan aku disuruh mengamati caranya menggambar. Itu saja. Dengan melihat itu, katanya, aku akan bisa sendiri menggambar nanti. Maka aku amatilah cara dia memegang pensil, memainkan cat air, dan juga menggaris-garis kertas gambar yang perlu digaris.
Karena sedikit idiot di sekolah, Darmawi sering diledek teman-teman. Dia paling marah diejek. Pernah kawan kami, Budiman namanya, dipukul Darmawi hingga menangis. Pasalnya Budiman memanggil Darmawi dengan sebutan “anak dungu”. Tentu beranglah Darmawi. Melayang tangannya yang besar ke badan Budiman. Terpekik Budiman dibuatnya. Orangtua Budiman keesokan harinya datang ke sekolah. Tentu saja marah-marah. Payah guru menenangkan. Gara-gara memukul Budiman itu, Darmawi semakin dijauhi teman-teman yang lain. Kasihan juga aku melihatnya. Agaknya hanya aku kawannya seorang di sekolah itu.
Walau agak idiot, Darmawi anak yang bersih soal mandi. Aku pernah diajaknya main ke rumahnya di Ujongblang. Rumahnya sangat sederhana. Kamar mandinya jauh di belakang rumah. Saat kami mandi bersama, aku lihat dia menggosok-gosok kedua kakinya dengan sikat gigi bekas. Jangan heran kalau kau lihat kedua kaki Darmawi putih bersih. Kuku-kuku kakinya juga bersih.
“Kalau mau salat, kaki kau harus bersih. Seperti kakiku ini,” ujar Darmawi sembari tertawa. Aku tersenyum saja.
Sekilas aku lihat dia tidak idiot. Malah aku sering terkaget-kaget ia melakukan sesuatu diluar dugaan. Saat kami pulang sekolah, ada seorang nenek-nenek yang berjalan payah hendak menyeberang. Lalu lintas sangat ramainya. Aku dan Darmawi melihat nenek itu. Spontan dia berlari ke arah si nenek, lalu menuntunnya menyeberang jalan. Si nenek mengucapkan terima kasih. Sungguh, dia anak luar biasa. Hanya kemiskinan orangtuanya saja, layaknya aku juga, ia kurang mendapat perhatian di sekolah. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H