Usai makan kami duduk di ruang tengah. Menunggu salat Isya. Ibu masuk ke kamar, membuka almari pakaian dan mengambil sesuatu. Benda itu dibungkus dengan kertas koran. Ibu membawa benda itu ke ruang tamu.
“Apa itu, Bu?” tanyaku penasaran.
“Baju lebaran, buat kau.”
Mataku berbinar. Sungguh aku senang mendapat baju baru untuk dipakai saat lebaran besok.
“Alhamdulillah, Bapak ada rezeki sedikit sehingga dapat membelikan Agam baju,” ujar Bapak kemudian.
“Terima kasih, Pak,” jawabku.
Aku mengambil baju dan celana baru yang sudah dibuka ibu dari bungkusnya. Aku amati baju itu. Bagus sekali. Baju kemeja kotak-kotak dan celana panjang merek Lee. Aku cocok-cocokkan baju dan celana itu ke tubuhku. Pas sekali. Bapak dan ibu tersenyum melihat aku sangat bergembira.
Tak lama kemudian terdengarlah suara azan Isya berkumandang di masjid. Bapak dan ibu mengajakku ke masjid. Kami salat berjemaah di masjid. Malam itu salat terasa nikmat. Ada suasana yang berbeda dibanding malam-malam sebelumnya. Salat terasa khusyuk sekali, walau aku sering garuk-garuk kepala lantaran bacaan imam sangat panjangnya. Ayat rakaat pertama dibaca imam surat Ar-Rahman. Ayat di rakaat kedua surat Al-Waqi’ah. Panjangnya minta ampun. Syukurlah suara imam merdu. Terasa dibuai jemaah dibuatnya.
Sehabis salat Isya imam memimpin takbiran. Jemaah ikut takbir. Semarak sekali. Sehabis itu anak-anak berkumpul di halaman masjid. Beduk disediakan pengurus masjid. Pemuda-pemuda kampung memukulnya dengan suara beduk yang berirama. Semua orang bertakbir. Kampung bertakbir. Ombak di laut ikut bertakbir.
Kebiasaan di kampung itu, di malam lebaran digelar arak-arakan. Ada yang bersepeda. Ada yang berkereta mesin. Beduk ditabuh di atas bak mobil pick-up. Anak-anak membawa obor. Laki-laki perempuan. Warga yang tidak ikut takbiran berdiri di halaman rumah-rumah mereka. Menonton iringan-iringan itu.
Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu Akbar. Laa ilaaha illallahuwallahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilhamd.