Ampun! Terpekiklah kami semua di areal rumah tengah sawah itu. Artinya akan ada penggusuran besar-besaran. Akan datang kendaraan penghancur bangunan. Aku yang masih kecil merasakan kesusahan bapak dan ibu. Ibu tak henti-hentinya menangis siang dan malam. Aku lihat raut wajah bapak yang kusut membayangkan seandainya rumah kami digusur kemana kami hendak pindah.
Suatu malam berlangsunglah rapat antara bapak dengan tetangga-tetangga sebelah rumah. Mereka mengundang aparat kelurahan untuk meminta pertolongan. Tapi rapat itu tak membuahkan hasil apa-apa. Sebab semuanya bingung. Aparat kelurahan pun tak memberi solusi, mereka malah menakut-nakuti dan meminta kami segera mengosongkan rumah.
Tiga hari kemudian tibalah saat yang paling menakutkan itu. Puluhan aparat berbaju seragam datang ke lokasi rumah kami di tengah sawah. Sebuah kendaraan penghancur bangunan berukuran besar juga didatangkan. Suara mesinnya bagaikan suara harimau lapar yang mengaum. Semua kami histeris. Terpekik. Ibuku dan ibu-ibu tetangga lainnya memeluk anak-anak mereka. Aku ketakutan dalam pelukan ibu. Ibu menangis sejadi-jadinya. “Jangan gusur rumah kami... dimana kami akan tinggal lagi...!” Begitulah ratap semua orang di rumah tengah sawah disaat kesepakatan tak didapat antara pimpinan aparat dan kepala keluarga pemilik rumah di tengah sawah.
Tanpa dikomandoi puluhan aparat berwajah beringas itu masuk kedalam rumah. Mengeluarkan semua barang-barang yang ada. Kami diminta keluar rumah. Bahkan untuk menyusun buku-buku sekolahku pun aku tak diizinkan. Bapak terpekur di sudut pagar menyaksikan peristiwa itu. Bapak memeluk ibu dan memeluk tubuhku yang kecil. Bapak si Anton yang mantan preman itu diamankan aparat karena dia nekat hendak melawan aparat dengan mengacung-acungkan goloknya yang panjang. Polisi bersenjata sangatlah banyaknya. Wajah-wajah mereka beringas seolah tak berbelas kasihan. Ibu terus meraung meratapi nasib kami.
Dari jauh aku lihat Bondan menangis disamping tubuh ibu dan bapaknya. Dia memeluk tas dan buku pelajarannya. “Pak, aku mau jadi dokter, aku mau sekolah. Dimana kami akan tinggal! Kalian orang-orang jahat, tunggulah aku besar nanti, perbuatan kalian akan aku balas!” teriaknya. Tangannya mengepal tinju, diacung-acungkannya ke atas.
Tak ada orang yang mendengar ocehan Bondan. Siapa yang peduli akan cita-citanya yang mau jadi dokter. Siapa yang peduli pada keluarganya yang miskin sebagaimana keluarga kami yang juga miskin. Tak ada. Keluarga kami bagai sampah dibuat aparat-aparat itu.
Setelah semua barang-barang milik kami dikeluarkan dengan paksa dan ditumpuk-tumpuk bagai sampah di simpang jalan, keempat rumah itu pun dirubuhkan. Kendaraan penghancur bangunan dalam sekejap melumat rumah kami yang tak sebanding besarnya dengan besar tubuh kendaraan itu. Saat rumah yang dibangun bapak dengan keringat dan airmatanya rata dengan tanah, disaat itulah tubuh ibu jatuh dan tak sadarkan diri. Tak ada yang peduli. Bapak memeluk ibu. Memeluk tubuhku. (bersambung)
Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H