“Siapa yang memberi Kau uang, Gam?” tanya ibu kepadaku.
“Aku bekerja, Bu,” ulangku lagi seperti yang sudah kukatakan kepada Bapak. Tapi bapak dan ibu agaknya tidak percaya.
Aku ceritakanlah bahwa aku mendapatkan uang itu tidak seorang diri. Aku, Bondan dan Anton bekerja bersama-sama mengumpulkan uang itu. Semua untuk bapak, untuk menolong masalah bapak.
Ketika aku menceritakan itu, mata bapak aku lihat berkaca-kaca. Ibu menangis. Mereka terharu mendengar ceritaku. Tiba-tiba bapak memeluk tubuhku yang kecil dan mengusap-usap kepalaku.
“Terima kasih, anakku. Maafkan Bapak...”
Bapak, ibu dan aku bertangis-tangisan di pagi itu. Aku menganggukkan kepala dan mengatakan kepada bapak dan ibu kalau aku sangat sayang kepada mereka. Aku tak ingin melihat bapak dan ibu susah apalagi bersedih. Yang aku sesali kenapa usiaku masih kecil ketika itu sehingga belum mampu bekerja lebih keras untuk menolong keluarga kami yang didera kemiskinan.
Bapak menyerahkan uang yang aku kumpulkan bersama Bondan dan Anton itu kepada ibu. Bapak meminta ibu yang menyerahkan uang itu kepada ibunya Anton. Sejak peristiwa rusaknya pot bunga milik ayah si Anton, bapak jadi segan berjumpa dengan keluarga Anton. Bukan bapak dendam, tidak. Bapak hanya menjaga perasaannya saja dan tak ingin memperpanjang masalah. Kepada ibu bapak berpesan untuk meminta maaf atas kejadian itu dan semoga semuanya menjadi baik kembali.
Uang itu diterima ibu Anton yang diserahkan ibu sebagai pengganti pot yang rusak sebab disenggol sepeda bapak. Sejak saat itu suasana di perumahan empat petak di tengah sawah di Kampung Tembung itu normal kembali. Hatiku lega masalah bapak telah selesai, walau bapak kian menjaga jarak dengan keluarga Anton.
Itulah hari-hari terakhir yang aku ingat sebelum tiba saat yang paling menyedihkan dialami keluarga kami, juga tetangga-tetanggaku yang berumah di tengah sawah. Sepekan kemudian, datang kabar tidak sedap dari aparat penertiban kota bahwa areal rumah di tengah sawah yang kami huni itu illegal. Empat rumah yang dibangun di tengah sawah, termasuk rumahku tidak mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Surat akte tanah juga tak kami miliki. Satu-satunya pegangan bapak hanya surat perjanjian jual beli tanah dengan si empunya tanah sebelumnya. Celakanya, tanah itu sejak lama bersengketa.
Satu dua kali surat peringatan datang dari kantor aparat. Kami diminta pindah dari lokasi itu. Kalau membandel aparat akan melakukan pembongkaran paksa. Selain itu diumumkan pula bahwa di lokasi rumah kami akan dibangun pabrik sepatu. Satu dua surat yang datang disambut bapak dengan kebingungan. Hal sama dialami keluarga Anton, Bondan dan tetangga lainnya. Kami tak tahu harus bersikap bagaimana. Maka tak berbalaslah kedua surat peringatan itu.
Surat yang ketiga datang dengan nada yang lebih keras. Bila dalam minggu ini lokasi tersebut tidak segera dikosongkan, maka aparat akan datang merubuhkannya!