Ah, sudahlah. Aku tak mau bercerita soal ular lagi. Cukup sudah pengalaman yang mengerikan itu. Pokoknya aku bermusuhan dengan ular. Kalau bisa aku tak pernah berjumpa lagi dengan makluk melata itu.
Tak lama sesudah mandi aku bergegas ke dalam kamar. Berganti pakaian. Baju yang aku pakai adalah baju sekolah yang telah robek di pundaknya. Baju itu sudah usang dan tidak kupakai bila ke sekolah. Bapak sudah menjahitnya beberapa kali, tapi robek lagi. Mungkin kualitas kainnya yang murahan jadi mudah robek. Tapi baju itu masih bisa kupakai bila dibawa ke sawah.
Usai berpakaian ibu menyuruhku sarapan. Paling sarapan dengan rebusan singkong. Lumayanlah untuk mengganjal perut. Walau makan singkong tapi umbian itu banyak manfaatnya. Satu diantaranya melancarkan pencernaan. Kau akan terkentut-kentut bila banyak makan singkong. Perut akan terasa lapang. Tapi jangan coba-coba kentut sembarangan, akan banyak korban berjatuhan.
"Kau mau pergi kemana?" tanya ibu lagi.
"Ke warung Nek Ani, Bu. Bantu-bantu Nek Ani lagi," ujarku.
Ibu tak bicara lagi. Dia sibuk dengan piring-piring yang menumpuk di dapur.
"Bagaimana pelajaran sekolah Kau, Gam? Apa ada PR?" giliran bapak bertanya.
"Gak ada, Pak," jawabku singkat.
"Ya sudah, jangan terlalu sore pulangnya," kata Bapak lagi.
Aku mengangguk. Setelah selesai sarapan aku minta izin kepada bapak dan ibu, sembari mencium kedua tangannya. Bapak mengusap-usap kepalaku. Bapak tidak tahu kalau hari itu aku, Bondan dan Anton menjalankan misi untuk membantu meringankan masalah bapak.
Aku bergegas keluar rumah langsung menuju warung Nek Ani yang berjualan sate kerang, menu khasnya. Sesampainya di sana aku disambut nenek yang ramah itu. Sudah beberapa pekan aku tak membantunya di warung karena ada kesibukan lain. Tapi Nek Ani tidak marah, dia selalu senang bila aku menyempatkan diri membantunya di warungnya yang selalu ramai itu.