Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (12)

31 Oktober 2011   02:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:16 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Muhammad Subhan

8
GARA-GARA POT BUNGA

Ayah si Anton, tetangga rumahku di tengah sawah bekerja membuat pot bunga dari olahan pasir dan semen. Itulah yang menjadi sumber penghasilan keluarganya. Sehari pot bunga yang dibuat ayahnya itu bisa dua sampai tiga buah pot. Kadang datang toke-toke Tionghoa memesan khusus pot bunga dalam jumlah cukup banyak ke rumahnya.

Di areal perumahan di tengah sawah itu, agaknya keluarga Anton yang sedikit mapan ekonominya. Anton yang pendiam dan cuek tidak satu sekolah denganku. Dia sekolah agak ke kota. Pokoknya Anton lumayanlah hidupnya dibanding aku dan Bondan yang berasal dari keluarga serba kekurangan.

Walau agak cuek dan pendiam Anton anak yang baik. Dia rajin belajar. Sekali-kali dia ikut bermain bersama kami ke sawah, duduk di pondok sembari memakan buah jambu kelutuk. Bondan juga sering mengajaknya menangkap belut. Anton dan Bondan lebih dahulu bersahabat.

Di suatu hari terjadi peristiwa yang tidak enak dialami keluargaku. Bapak bertengkar dengan ayahnya si Anton. Sumber masalahnya gara-gara pot bunga yang tanpa sengaja disenggol roda sepeda bapak. Pot itu sedang dijemur di halaman rumah si Anton yang bertetangga dengan rumahku. Namun pot itu agak dekat dengan pintu masuk rumah kami. Karena belum kering, saat tersenggol sepeda bapak pot itu jatuh lalu pecah. Ayah Anton yang tahu potnya rusak dibuat bapak, terbit marahnya. Bapak dicaci maki habis-habisan.

Bapak mengaku bersalah dan meminta maaf, tapi ayah si Anton yang mantan preman itu tidak terima. Dia minta ganti rugi dengan harga yang tidak masuk akal. Agaknya dia tersinggung atas perbuatan bapak yang merusak karya seninya itu. Di samping dia bilang bahwa pot itu dipesan khusus oleh toke Tionghoa dengan harga mahal.

Aku, Bondan dan Anton melihat pertengkaran itu. Kami yang masih anak-anak tidak dapat berbuat banyak. Hanya bisa menonton. Tapi aku kasihan juga melihat bapak yang dicaci maki ayah si Anton dengan kata-kata kotor. Jiwa premannya muncul kembali walau sebenarnya dia sudah tobat. Di waktu mudanya ayah si Anton sering keluar masuk penjara. Maklumlah, dia preman Medan yang sering berkelahi di terminal dan sesekali mencopet. Kalau Kau lihat betis kaki ayah si Anton itu, akan tampak bekas luka berbentuk lingkaran. Itu bekas timah panas yang ditembakkan polisi ke kakinya karena dia melarikan diri. Di punggung badannya banyak gambar tato naga.

Bapak bukanlah seorang penakut. Bapak mau saja melawan ayah si Anton. Tapi bapak insaf bahwa usianya sudah tua. Bapak ingin berdamai. Bapak mengalah walau sebenarnya pot itu yang salah, kenapa diletakkan dekat pagar pintu masuk rumah orang. Bapak yang buru-buru pulang karena ada order pakaian yang harus segera dijahit tak melihat kalau ada pot itu di sana. Ketika pintu pagar dibuka, masuklah sepeda bapak dan rodanya tanpa sengaja menyenggol pot itu.

Ayah si Anton tetap bersikeras meminta ganti rugi dengan harga tinggi. Manalah bapak punya uang. Untuk makan saja susah. Berkali-kali Bapak minta maaf tapi tak juga diterima ayah si Anton. Sampai ramai halaman rumah kami oleh tetangga yang melerai ayah si Anton dan Bapak. Anak-anak termasuk kami banyak yang menonton.

Bapak si Bondan akhirnya yang mendamaikan perkara itu. Persyaratannya ayah si Anton tetap meminta ganti rugi kepada bapak. Akhirnya karena bapak tak ingin memperpanjang masalah itu, bapak mengaminkan saja walau aku tahu bapak tak akan punya uang untuk menggantinya.

Bondan yang berdiri disampingku menarik lenganku dan Anton lalu mengajak kami ke pondok tengah sawah tempat yang sudah menjadi markas kami. Aku tak tahu apa yang diinginkan Bondan. Aku dan Anton menurut saja.

“Kita mau kemana, Ndan?” tanyaku kepadanya.

“Ikut sajalah,” katanya singkat.

Anton tak bersuara.

Kami terus berjalan menyisiri pematang. Hari sudah siang. Terik matahari menyengat kulit. Tak lama kemudian sampailah kami bertiga di pondok tengah sawah. Buah jambu kelutuk di samping pondok itu menyisakan beberapa buah yang ranum, selebihnya hanya buah yang masih kecil-kecil. Sudah sering kami ambil jadi habislah buahnya.

“Ngapain kita kesini, Ndan?” tanyaku lagi. Pikiranku masih membayangkan wajah bapak yang kusut karena masalah pot bunga ayah si Anton. Kasihan bapak.

“Begini Gam, Kau juga Anton. Kita harus menolong bapak si Agam. Aku tahu bapak si Agam tak punya uang,” ujar Bondan tiba-tiba.

Mataku berkaca-kaca. Terharu akan kata-kata yang dilontarkan Bondan, sahabatku itu.

“Apa yang bisa kita lakukan?” tanya Anton. Secara khusus Anton meminta maaf kepadaku atas perlakuan ayahnya kepada bapakku.

“Ya, apa yang bisa kita perbuat, Ndan?” tanyaku pula.

Bondan sejenak diam. Matanya menerawang. Sepertinya dia sedang berpikir keras. Setelah beberapa menit keadaan hening, barulah Bondan bersuara dengan wajah cerah.

“Kita kumpulkan uang,” katanya tiba-tiba.

“Dari mana kita mendapatkan uang?” tanyaku lagi. Keningku berkerut.

“Kita bekerja,” jawabnya berapi-api.

“Kerja apa, Ndan?” Anton ikut bertanya.

“Kau Agam, teruskan bekerja di warung Nek Ani. Kau Anton, ikut aku mencari tebu, nanti sama-sama kita jual. Aku juga akan memancing belut dan ikan gabus, hasilnya nanti kita jual. Semua uang kita kumpulkan. Kau setuju?” ujarnya berapi-api.

“Dahsyat. Ide Kau hebat, Ndan!” teriak Anton.

Aku semakin terharu. Luar biasa sahabatku itu. Dia selalu menjadi pahlawan setiap kali aku mendapatkan masalah. Jiwa sosialnya sangat tinggi.

“Hei, Men. Kau kok diam saja? Apakah Kau tak setuju ide ini?” tanyanya dengan wajah yang agak marah.

Melihat ekspresinya aku tersenyum.

“Aku sangat setuju, Ndan. Kau hebat. Aku sangat berterima kasih,” jawabku sembari menepuk pundaknya.

“Oke, mulai hari ini kita persiapkan segala sesuatunya. Sore nanti aku mulai memancing belut. Beberapa pancing aku letakkan di sawah-sawah yang banyak ikan gabus. Aku tambang di sana. Pokoknya kita bertekad membantu ayahmu. Kau santai saja, Men!”

Spontan bondan menjulurkan tangan kanannya ke arahku dan Anton.

“Ayo, kita berjanji untuk bekerja keras mulai hari ini,” katanya lagi.

Aku dan Anton saling berpandangan. Lalu menjulurkan tangan kami pula. Saling menimpa telapak tangan satu dengan lainnya.

“Siap, Komandan!” kataku dan Anton serentak. Bondan tersenyum.

Telapak tangan kami bersatu lalu menjatuhkannya bersama.

“Yesss...!!!” teriak kami serentak.

Lalu kami bertiga tertawa riang. Persahabatan yang sangat indah. Kami berangkulan dengan erat, lalu pulang ke rumah untuk menjalankan misi masing-masing. (bersambung)

Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun