Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (9)

26 Oktober 2011   08:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:29 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Muhammad Subhan

Dari sudut lapangan kulihat keempat anak brandalan itu tertawa mengejek. Layangan mereka telah melenggak-lenggok di angkasa.

“Oiii... mana layangan Kau itu? Takutkah kalian?” teriak Ucok dari kejauhan.

Aku dan Bondan tak meladeni teriakan Ucok. Gelasan benang sudah siap dan aku sedang mengambil ancang-ancang menerbangkan layangan. Begitu juga Bondan. Tak lama kemudian angin menerbangkan layangan kami ke angkasa.

Enam layangan meliuk-liuk di langit. Bersiap adu ketangkasan.

Secara bersamaan keempat layangan lawan itu mendekat ke arah layanganku dan layangan Bondan. Gerak ke empat layangan itu seolah penuh keberingasan. Hendak cepat-cepat menuntaskan pertandingan.

Bondan tetap bersikap tenang. Benang di tangannya ia mainkan penuh konsentrasi. Bila keempat layangan lawan itu memburu mendekat ke arah layangan kami, tapi Bondan tidak mengejar ke arah layangan lawan.

“Kita haru setenang mungkin,” katanya seolah berbisik.

Aku tak menjawab. Mataku tetap fokus ke arah layanganku yang dekat dengan layangan Bondan.

“Manfaatkan tenaga lawan. Ketika mereka menyerang, secepatnya Kau ulurkan benang dengan gesekan ke bawah. Jangan terlalu keras. Kau rasakan benang lawan menyentuh benang kau itu. Jangan juga Kau tahan. Terus Kau ulurkan nanti,” kata Bondan. Strategi perangnya sudah mulai ia jalankan. Aku menganggukkan kepala. Paham.

Jarak keempat layangan yang mendekat ke arah kami sudah sangat dekat. Mungkin sekitar setengah meter. Geraknya menukik tajam. Menyerang. Aku mengikuti nasihat Bondan. Tidak melakukan perlawanan. Lebih menunggu serangan lawan.

Disaat keempat layangan lawan itu telah merapatkan benangnya ke benang kami, di saat itulah Bondan berteriak.

“Sekarang, Men! Kau ulurkan benang kau itu secepatnya...!”

Bagaikan diremote, aku menuruti kata-kata Bondan. Benang dalam gulungan di tanganku itu meluncur cepat. Layanganku dan layangan Bondan di angkasa bagaikan layangan putus. Keempat layangan lawan terus merapat dan menggesek-gesekkan benang mereka ke benang kami. Lama juga pertandingan itu. Hingga kemudian tiba-tiba layangan Ucok putus tergesek benang layangan Bondan. Kulihat dari jauh anak berengsek itu melempar gulungan benangnya. Dia memaki-maki sendiri.

Di angkasa aku dan Bondan harus menghadapi tiga layangan lainnya yang terus merapat. Bondan memutar-mutar gulungan di tangannya membentuk lingkaran sembari benang layangan terus meluncur kencang. Namun dia mengatur jarak ulurannya agar benang di gulungan tidak cepat habis.

“Usahakan jangan sampai benang kau di gulungan habis!” teriaknya lagi.

Aku mengangguk paham.

Pertandingan dua lawan tiga layangan itu menegangkan. Agaknya ketiga layangan lawan itu cukup kuat. Kekuatan mereka bersatu. Namun taktik yang diberikan Bondan membuat aku berhasil memutuskan benang layangan Dodon. Layangan anak itu meliuk-liuk jatuh lalu menyangkut di dahan sebatang pohon kelapa yang sangat jauh jaraknya dari lapangan kami.

Aku lihat dari jauh Dodon juga menggerutu atas kekalahannya itu.

Sekarang kekuatan telah berimbang. Dua lawan dua. Namun tak lama kemudian layanganku putus dibuat layangan Ateng. Anak itu melompat kegirangan. Tetapi kegirangannya itu tak lama, sebab Bondan berhasil memutuskan layangannya.

Inilah babak terakhir yang paling menegangkan. Layangan Bondan melawan layangan Toni. Kedua anak ini sama-sama kuat dan sama-sama lihai bermain layangan. Beberapa kali gesekan benang kedua layangan itu lepas. Disaat lepas dan benang tidak saling menggesek, Bondan memanfaatkan kesempatan untuk menggulung benangnya secepat mungkin sehingga ia memiliki cukup benang untuk diulurkan ketika layangan lawan menyerempet lagi. Hal yang sama juga dilakukan Toni lawan tandingnya.

Lebih satu jam kedua layangan itu berlaga. Ketiga kawan Toni memberikan semangat kepadanya. Aku juga turut memberi semangat kepada Bondan. Aku yakin Bondan akan memenangkan pertarungan itu.

Peluh Bondan mengucur deras membasahi tubuhnya. Terlihat dia kewalahan memutuskan benang lawan. Toni sangat gesit memainkan benangnya. Tapi Bondan berusaha tetap tenang agar ia tidak terburu nafsu memenangkan pertandingan.

Disaat azan magrib hendak berkumandang, disaat itulah sehabis-habisnya Bondan mengulur benangnya ketika mendapat kesempatan menyerempet benang layangan Toni. Lawannya itu tak dapat mengelak lagi. Ketika Toni hendak menyentak dan mengulurkan layangannya secepat mungkin, disaat itulah Bondan  dengan lihainya meliuk-liukkan layangannya sehingga menggulung-gulung layangan Toni. Lawannya itu terjepit. Ketika benang Bondan sudah berpilin-pilin di benang layangan Toni, tiba-tiba benang lawannya itu putus sementara layangannya tersangkut bersama layangan Bondan di udara. Bondan memainkan dua layangan di satu benang. Luar biasa. Melihat pemandangan itu aku bersorak girang.

“Horeee...! Kita menang...!”

“Yes, kita berhasil!” pekik Bondan.

Keempat anak-anak di sudut lapangan itu membanting-banting dan menendang-nendang gulungan benang layangan mereka. Terdengar sumpah serapah dan mereka berjanji akan membalas dendam dan mengajak kami bertanding lagi di lain hari. Mereka tak mendekati kami lagi, langsung pergi karena kalah telak dalam pertandingan itu.

Itulah pertama kali aku melompat kegirangan dan memeluk tubuh Bondan yang gempal penuh lemak di pinggangnya. Kami adu tepuk tangan, dan berjabatan erat sebagai dua orang sahabat.

“Kau hebat, Kawan. Aku sungguh kagum kepadamu,” pujiku kepada anak itu. Dia tersenyum-senyum saja.

“Jangan berpuas dulu, Men, mereka akan datang lagi di lain waktu. Kau harus siapkan benang yang lebih tajam dari yang sekarang,” katanya kemudian.

“Oh, tentu. Siap, Komandan!”

Kami tertawa bersama. Berangkulan bersama dan berjalan pulang ke rumah kami di tengah sawah.

Ketika imam di musala kampung terdengar mengucapkan salam, aku baru sampai di rumah. Tentu saja bapak dan ibu marah-marah. (bersambung)

Catatan: Novel ini belum pernah dipublikasikan. Pertama di Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun