Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (7)

24 Oktober 2011   10:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:34 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mataku awas sekali-sekali melihat ke tengah areal kuburan cina. Di bawah pohon kamboja tua yang tadi aku lihat ada sesosok tubuh berjongkok dan berjubah hitam, tak lagi tampak di sana. Entah kemana pergi orang itu. Alam benar-benar hening.

Sampailah kami di depan gerbang kuburan cina.

Dari balik tembok gerbang kuburan yang tinggi itu, tiba-tiba muncul sesosok tubuh tinggi jangkung, memakai jubah hitam. Wajah seorang kakek tua yang pucat. Kepalanya tak tertutup jubah. Rambutnya putih panjang. Wajahnya penuh benjolan. Kedua bola matanya tajam menatap kami.

Bondan dan aku terkejut. Jantungku berdegup kencang. Wajahku pucat. Itukah hantu hidup?

Kakek tua itu tak bergeming. Di tangannya memegang sapu lidi bertangkai panjang. Bondan tak bercakap. Agaknya dia takut juga.

“Ampun, Engkong... Ampun...” tiba-tiba Bondan bersuara keras, minta ampun kepada orang yang dipanggilnya engkong itu. Itulah Engkong Xian yang disebut Bondan tadi. Sepertinya kakek itu marah. Mungkin saja waktu Bondan lari menakuti aku tadi terdengar olehnya kalau anak itu menyebut hantu kepada Engkong Xian. Lalu sekarang ditunggunya kami di gerbang kuburan.

Terbayang di benakku kalau-kalau Engkong Xian menangkap kami lalu mengikat kami di salah satu batang pohon kamboja di tengah kuburan cina. Tubuhku menggigil membayangkan itu. Peluh mengucur deras di tubuhku.

Tiba-tiba Engkong Xian berdehem. Suara dehemannya terdengar berat.

“Oe olang kulang ajal ya!” tiba-tiba Engkong Xian bersuara. Suaranya gagap. Gagang sapu di tangannya diacung-acungkannya ke atas. Kami bertambah takut.

“Ampun Engkong, ampun...” kata Bondan lagi. Aku lihat anak bongsor itu menggigil juga karena takut. Celananya basah. Dia kencing di celana!

Takut kalau-kalau Engkong Xian mengejar kami, Bondan duluan kabur meninggalkan aku. “Ampun Engkong.... Ampun... Gak diulang lagi... kapok...!” teriaknya sambil berlari kencang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun