Setiap hari berita dilayar televisi tidak henti-hentinya mengulas keganasan virus corona. Pemerintah beradu cepat berlari kencang dalam menaggulangi virus yang konon mematikan ini, tapi covid-19 semakin menggila.
Tahun ini, target satu juta vaksin perhari mampu di distribusikan oleh pemerintah. Artinya pemimpin negeri ini sangat serius dalam menangani pandemi ini. Namun apalah daya, alih-alih corona lenyap dari bumi nusantara ini, ternyata keberadaan virus corona semakin merajalela.
Seminggu lalu, Sanusi sahabatku menghembuskan nafas terakhir dipembaringan rumah sakit kamar nomer 031. Janazahnya tidak dimandikan dan dikafankan pada alamat duka. Aku dengar ia dikebumikan di pemakanan baru, khusus korban corona.
Kasihan istri Sanusi, Perempuan beranak satu itu menjadi janda kembang dalam usia muda. Untung saja semasa hidup, Sanusi merupakan lelaki pekerja keras. Ia masih meninggalkan satu kapling kebun kelapa sawit dan sepuluh rumah kontrakan. Peninggalan Sanusi itu tentu akan mengurangi beban derita istrinya. Pastilah beruntunglah lelaki yang akan menjadi suami barunya kelak, sekan mendapat durian jatuh.
Lain Sanusi, lain pula cerita yu Parmi. Perempuan setengah umur itu harus mati pada usia empat puluh dua tahun. Usia yang relative tidak begitu tua. Anak sulungnya saja masih duduk di bangku kelas sembilan SMP dan anak bungsunya kelas lima sekolah dasar.
Singkat cerita, Konon kematian yu Parmi disebabkan sesak nafas. Memang, sejak remaja ia punya penyakit itu. Ketika sekolah dahulu, yu Parmi sering pingsan saat berolahraga. Jika keletihan, nafasnya tersengal-sengal, susah sekali bernafas. Hanya minum air hangat dan istirahat yang cukup, tidak lama kemudian ia akan sehat kembali. Cerita itu aku tahu dari Yu Sumi teman sekolahnya yu Parmi.
Sebenarnya, sejak yu Parmi menikah. Penyakit sesak nafasnya lambat laun menghilang, sudah tidak pernah kambuh lagi. Hampir dua puluh tahun ini aman-aman saja. Sayangnya, di masa pandemi ini, sesak nafas yu Parmi malah kambuh dan dokter menyatakan ia terpapar covid.
Betapa sedihnya Udin atas kematian istrinya itu. Di hati Udin, Istrinya lah perempuan terbaik dalam hidupnya selama ini, karena yu Parmi begitu sayang keluarga. Pada saat mendiang yu Parmi masih hidup, tidak ada sedikit pun hati Udin untuk menduakannya. Entah nanti, setelah tanah kubur yu Parmi mengering, apakah Udin akan nikah lagi? Kita tunggu saja kabar beritanya…
Kematian dua warga desa, sangatlah mengkhawatirkan. Lantaran Sanusi ataupun yu Parmi, seminggu sebelum dilarikan ke rumah sakit acap kali berinteraksi ngobrol dan kong-kong bareng dengan tetangga.
*****
Kisah pilu kematian dua warga di kampungku itu sangatlah menghantui. Hidup seakan singkat dan hanya menunggu giliran kematian menjemput, entah kapan?
Tapi anehnya, masih ada saja warga yang tidak percaya bahwa kematian Sanusi dan yu Parmi berdua itu disebabkan terpapar covid-19.
“Halah, Mana ada corona? Aku nda percaya! Wong kematian yu Parmi itu memang penyakit bawaan.”
Ada juga warga yang nyeletuk, “Sanusi mati itu bukan karena corona. Pasti ada orang yang menyantetnya. Wong, Sanusi kalau menagih uang kontrakan terlalu kasar tutur katanya. Wajar saja kalau ada yang sakit hati, lalu menyantetnya.”
Saat ini, paling berbahaya dan mengkhawatirkan bukanlah terpapar virus corona itu sendiri, akan tetapi terpapar berita hoax, lalu menyebarkan kembali berita itu ke khalayak umum. Permasalahannya adalah siapa saja bisa terpengaruh dan percaya dengan berita bohong tersebut. Bukan hanya orang yang memiliki pendidikan rendah, sekelas pejabat sekalipun bisa percaya dengan berita-berita yang belum tentu kebenarannya.
Hal lebih menyakitkan hati, ketika mendengar ada orang mengatakan bahwa pasien sembuh corona lebih banyak dari pada yang mati. Sungguh pernyataan ini tidak manusiawi, seolah nyawa manusia tidak ada harganya. Bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan, jika mendengar pernyataan ini?.
Sebagai orang yang beriman, kita yakin bahwa hidup mati ditangan tuhan. Begitu juga wabah corona ini. Semua yang terjadi dalam kehidupan tidak ada yang luput dari pengawasan dan kehendaknya. Maka sangat bijak ketika wabah ini masih membayang-bayangi kehidupan, kita harus semakin mendekatkan diri pada ilahi. Sembari berdoa semoga kita tidak mendapat giliran keganasan corona selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H