Tapi anehnya, masih ada saja warga yang tidak percaya bahwa kematian Sanusi dan yu Parmi berdua itu disebabkan terpapar covid-19.
“Halah, Mana ada corona? Aku nda percaya! Wong kematian yu Parmi itu memang penyakit bawaan.”
Ada juga warga yang nyeletuk, “Sanusi mati itu bukan karena corona. Pasti ada orang yang menyantetnya. Wong, Sanusi kalau menagih uang kontrakan terlalu kasar tutur katanya. Wajar saja kalau ada yang sakit hati, lalu menyantetnya.”
Saat ini, paling berbahaya dan mengkhawatirkan bukanlah terpapar virus corona itu sendiri, akan tetapi terpapar berita hoax, lalu menyebarkan kembali berita itu ke khalayak umum. Permasalahannya adalah siapa saja bisa terpengaruh dan percaya dengan berita bohong tersebut. Bukan hanya orang yang memiliki pendidikan rendah, sekelas pejabat sekalipun bisa percaya dengan berita-berita yang belum tentu kebenarannya.
Hal lebih menyakitkan hati, ketika mendengar ada orang mengatakan bahwa pasien sembuh corona lebih banyak dari pada yang mati. Sungguh pernyataan ini tidak manusiawi, seolah nyawa manusia tidak ada harganya. Bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan, jika mendengar pernyataan ini?.
Sebagai orang yang beriman, kita yakin bahwa hidup mati ditangan tuhan. Begitu juga wabah corona ini. Semua yang terjadi dalam kehidupan tidak ada yang luput dari pengawasan dan kehendaknya. Maka sangat bijak ketika wabah ini masih membayang-bayangi kehidupan, kita harus semakin mendekatkan diri pada ilahi. Sembari berdoa semoga kita tidak mendapat giliran keganasan corona selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H