Mohon tunggu...
Muhammad Solihin
Muhammad Solihin Mohon Tunggu... Guru - Seorang pemimpi dan Pengembara kehidupan

Hidup adalah cerita dan akan berakhir dengan cerita pula. muhammad solihin lentera dunia adalah sebutir debu kehidupan yang fakir ilmu dan pengetahuan. menapakin sebuah perjalanan hidup dengan menggoreskan cerita kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selamat Jalan Ibu

29 Juli 2020   08:14 Diperbarui: 29 Juli 2020   08:26 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Enam bulan, ruang berukuran 3x4 itu menemani perempuan rentah yang terbaring lemah. Tubuhnya semakin kurus. Hanya tertinggal tulang yang berbalut kulit. Rambutnya putih dipenuhi uban mengkilap.

Sebulan ini. Ada yang tidak biasa pada perilaku perempuan tua itu. Setiap kali aku merawatnya -- menyeka tubuhnya yang mulai keriput. Ia selalu menatapku dalam.

Ketika aku menyuapkan makanan cair ke mulutnya. Ia pun selalu menatapku dalam dan sesekali bibirnya tersenyum.

Aku merasa seperti ada sesuatu yang ingin diucapkannya. Namun apa daya, lidahnya tak mampu digerakan. semenjak ia terjatuh di halaman rumah dan dokter memvonisnya terkena stroke.

Tubuh sebelah kirinya mati separuh. Tangan dan kaki tak mampu digerakan lagi. Lidahnya pun keluh, kaku, tak bisa berbicara.

Pagi ini, tidak seperti biasanya. Lidah perempuan tua itu bisa digerakan bahkan dapat mengeluarkan suara dengan jelas sekali. Tapi hanya kata "Allah".

 Ia memanggilku "Allah", memanggil istriku "Allah', memanggil semua orang yang dijumpainya di rumah ini "Allah". Apa yang dilihatnya dipanggil "Allah".

Mustahil rasanya, logikaku tidak bisa menalar.  Lidah yang tadinya keluh, tiba-tiba bisa mengucapkan kata yang menggetarkan hatiku. Kata "Allah".

Perempuan tua itu berdzikir, memanggil nama Tuhan, Pikirku

Subhanallah, aku menangis menyaksikan itu semua. Seperti ada kesadaran tinggi yang membuncahkan batin dan logikaku.

Mengapa aku yg selama ini diberikan kesehatan, diberikan kemudahan, diberikan kebahagiaan. Malah tidak pernah menyebut-nyebut nama tuhan.

Aku tidak pernah  memuja dan memuji Rabbku yang selama ini menyayangi. Sungguh aku makhluk yang tak tau diri.

Subuh hari, setelah adzan berkumandang. Perempuan tua itu terus memanggil manggil nama tuhan, "Allah". Suaranya semakin jelas dan lancar. Tapi tatapanya terlihat nanar dan nafasnya dalam.

Segera aku hampiri dan meletakan kepalanya di pangkuanku. Ia menatapku dalam.

Selanjutnya, perempuan tua itu menghembusankan nafas  terakhir dan terdengar suara lirih "Allah" dari mulutnya. Tubuhnya pun lemah tiada bertenaga lagi.

Tanpa aku sadari, ada perasaan aneh dalam diriku, aku merasa akan kehilangan dirinya selama lamanya. Air mataku pun menetes membasahi pipi tanpa aku bisa membendungnya. Selamat jalan ibu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun