Penulis: Dr. H. Muhammad Soleh Hapudin, M.Si (Ketua DPW Forum Silaturahmi Doktor Indonesia (FORSILADI) Provinsi Banten
Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober bukan hanya momen refleksi sejarah, tetapi juga titik tolak untuk menatap masa depan pendidikan pesantren dalam menghadapi era disrupsi. Disrupsi yang terjadi di berbagai bidang, terutama teknologi dan sosial, telah mengubah banyak aspek kehidupan masyarakat, termasuk pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki sejarah panjang di Indonesia, pesantren harus mampu bertransformasi agar tetap relevan dan berkontribusi positif dalam membentuk generasi yang siap menghadapi tantangan global.
Era Disrupsi dan Dampaknya pada Pendidikan
Era disrupsi ditandai dengan kemunculan inovasi-inovasi teknologi yang mengubah pola kehidupan secara drastis. Perkembangan teknologi digital seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan big data telah mengubah industri, komunikasi, hingga pola pendidikan. Tidak terkecuali pesantren, lembaga pendidikan tradisional yang selama ini fokus pada pengajaran ilmu agama, kini harus berhadapan dengan kenyataan bahwa pendidikan formal, informal, dan spiritual pun terpengaruh oleh perubahan ini.
Pesantren, yang dikenal dengan pendekatan pendidikannya yang menyeluruh mencakup aspek intelektual, moral, dan spiritual, kini dituntut untuk beradaptasi dengan teknologi baru tanpa menghilangkan identitas dan nilai-nilai keislamannya. Transformasi ini diperlukan agar santri, yang akan menjadi pemimpin masyarakat di masa depan, memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Transformasi Pesantren Menuju Era Digital
Salah satu langkah yang dapat dilakukan pesantren adalah memperkuat digitalisasi dalam proses belajar-mengajar. Transformasi digital bukan berarti menggeser pendidikan tradisional yang sudah menjadi identitas pesantren, tetapi justru melengkapi agar pesantren mampu mengikuti perkembangan global.
Pesantren, sebagai institusi pendidikan tradisional yang memiliki nilai-nilai keagamaan dan moral yang kuat, kini berada di persimpangan antara generasi Alfa dan tantangan dunia pendidikan dalam era Revolusi Industri 4.0. Generasi Alfa, yang lahir setelah tahun 2010, tumbuh dalam era digital dengan akses yang luas terhadap teknologi dan informasi. Mereka memiliki karakteristik yang berbeda dari generasi sebelumnya, termasuk kemampuan multitasking, kreativitas dalam menggunakan teknologi, dan kebutuhan akan pembelajaran yang interaktif dan terhubung dengan dunia luar.
Di sisi lain, Revolusi Industri 4.0 mengubah cara kita hidup, bekerja, dan belajar. Perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan, Internet of Things, dan komputasi awan telah mengubah paradigma pendidikan secara keseluruhan. Pesantren yang selama ini dikenal dengan metode pembelajaran yang konvensional dan kurikulum yang cenderung konservatif, kini dihadapkan pada tuntutan untuk beradaptasi dengan perubahan ini agar tetap relevan dan mampu mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan masa depan.
Tantangan utama yang dihadapi pesantren adalah bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dan moral yang diajarkan dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan akan keterampilan digital. Pesantren perlu memperbarui metode pembelajaran mereka dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan daya tarik dan interaktivitas pembelajaran, serta mempersiapkan santri agar memiliki keterampilan digital yang diperlukan di dunia kerja yang semakin terdigitalisasi.