Mohon tunggu...
Moh. Samsul Arifin
Moh. Samsul Arifin Mohon Tunggu... Dosen - Saya suka membaca dan menulis apa saja

Saya suka menulis, dan membaca apa saja

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menikmati Pemandangan di Kalender Tahun 90'an

7 April 2022   15:05 Diperbarui: 7 April 2022   15:19 1384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Daily Gazzette: Peter B. Barber

Keindahan seperti mukjizat. Berbagai macam tanaman tumbuh seperti bergembira, pohon-pohon segala jenis, menyumbang warna kebanggaannya masing-masing. Perhatikan susunan warnanya, kanan-kirinya tak sama, seperti acak tapi juga teratur, gelap-terangnya, seperti tak ditata tapi harmonis. 

Hijau tua dan hijau muda, kuning yang cerah, orange, merah muda yang berani, bahkan banyak juga yang  tumbuh sebagai daun perak dan emas, warna-warna seperti saling mengalahkan, tapi mereka sama-sama menang. Dan batangnya seperti tiang-tiang besi, cabang dan rerantingnya kawat, kuat, tapi jika tertiup angin, mereka bisa berayun lembut melambai-lambai. 

Daun emasnya berjatuhan satu-satu jika ada menusia lewat di bawahnya. pemandangan ini lebih dari sekedar menghibur, ini keajaiban, ini membahagiakan.

Danau di depan itu, lihat, bukan hanya tempat hidup hewan air, ia lebih berperan sebagi cermin raksasa yang memantulkan lukisan diatasnya dengan hampir sempurna, gelombang-gelombang halus di atas permukaan, mencipta efek kabur pada citra warna-warni alam menjadi semakin alami. 

Gadis-gadis pasti ingin menjadi danau seperti ini, menjadi perhatian, dikelilingi keindahan, sekaligus menambah keindahan sekitarnya. Begitu peran yang membanggakan.

Lalu jembatan batu abu-abu itu, tumpukan batu alam yang teratur, indah, tebal, dan tentu saja kokoh sekali. Siapapun yang membangunnya pasti berjanji, bahwa mereka harus membuat sesuatu tidak sembarangan, tidak merusak alam sekitarnya dan juga mampu bertahan ratusan tahun lamanya. 

Aku tidak yakin kalau orang yang melewati jalan di atasnya itu akan lupa pada tujuannya, terlalu hiperbola. Tapi jika hanya potretnya saja sulit aku jelaskan keindahannya seperti ini, mungkin siapapun yang hatinya masih bersih, tidak mungkin mengingkari kebesaran Tuhan, bahkan hanya dengan menikmati secuil keindahan dari sudut bumi yang tak tahu ada di sebelah mana ini.

Dulu aku sering menemukan gambar pemandangan musim gugur seperti ini di halaman kalender, atau majalah pada tahun 90'an. Pada jaman itu, tidak ada kalender pesantren, masjid, sekolah dll. Kebanyakan kalender berisi foto-foto pemandangan seperti ini.

Sebagai anak desa, di negara tropis, negara yang tidak punya musim gugur, tentu pemandangan seperti ini hampir tak pernah dibayangkan bahwa ia ada. 

Di musim penghujan, pohon-pohon kami subur, tapi daunnya hijau, tua atau muda saja. Tidak berwarna-warni seperti itu, kuning, orange, merah atau emas, dulu aku yakin tidak ada pohon yang warnanya bisa semeriah itu. Di musim kemarau, daun-daun disini coklat tua atau seperti terbakar gosong, sebelum gugur.

Padahal hanya sebuah gambar pemandangan dari sebuah tempat yang tak diketahui alamatnya yang kulihat puluhan tahun lamanya. Aku ingin kembali ke masa itu, hanya untuk menikmati gambar-gambar indah yang lain di kalender. Dengan bau tanah, dan rumahku yang lantainya berdebu waktu itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun