Misalnya, di sekitar kita ada keripik singkong, tanyakan, produk ini dari perusahaan apa, bagaimana cara membuatnya, siapa saja penikmatnya, kenapa ada disitu, berapa harganya, apakah kandungan gizinya atau kenapa keripik ini hanya ada di Indonesia, tidak ada di Negara lain di dunia.Â
Dari keripik saja kita sudah bisa atau memiliki ide untuk ditulis. Belum lagi masalah-masalah kompleks lainnya. Percakapan tentang masalah yang ada di tetangga, masalah sosial, atau pribadimu sendiri.
3. Menulis tidak usah panjang-panjang, yang penting komitmen untuk menulis setiap hari.
Saya pribadi menggunakan media sosial untuk aktif menulis. Karena secara pribadi saya suka sastra, setiap hari saya mewajibkan diri sendiri untuk menulis. Dengan komitmen dan menjadikannya sebagai kebiasaan, menulis bukanlah hal yang membutuhkan persiapan lagi.
4. Ikuti kelompok, grup atau perkumpulan kepenulisan.
Banyak tersebar di media sosial, baik Facebook, Instagram atau grup WhatsApp. Menulis dan berbagi ide dengan penulis lain akan membuka pengertian baru, memperkaya sudut pandang, terutama banyak-banyaklah berdiskusi dengan orang yang kredibilitasnya dalam menulis sudah terbukti. Baik guru dosen dsb.
5. Sadari bahwa setiap kualitas butuh proses.
Tidak ada bakat, tidak ada mukjizat dalam dunia menulis. Yang ada adalah seberapa banyak dan seberapa mempu kita untuk tetap menjaga semangat menulis itu sendiri.Â
Dulu saya bercita-cta menjadi seorang penulis, tapi saya pikir, penulis itu adalah takdir, dan saya bukan salah satu orang yang beruntung untuk ditakdirkan menjadi seorang penulis.Â
Namun pemikiran yang demikian itu saya lupakan dan mulai menjalin banyak komunkasi dengan senior (penulis lainnya).Â
Dalam prosesnya, menjadi penulis itu tidak perlu diperjuangkan dalam bentuk aktifitas yang menyiksa seperti anti sosial (mengurangi aktifitas sosialisasi dengan masyarakat karena ingin aktif menulis) dll.Â