Bukan diary, kini manusia lebih banyak mengabadikan momen sehari-harinya menggunakan media sosial, terlebih lagi dengan berkembangnya dunia fotografi. Kamera sebagai media komunikasi visual yang tersemat di gawai yang sederhana sekalipun membuat "pencatatan sejarah" itu menjadi lebih mudah dan lebih "abadi".
Fotografi berkembang dari masa ke masa. Ibnu Haytam pada tahun 1039 membuat kamera pertamanya, Danielo Barbaro menyempurnakan lensa kamera sekitar 400 tahun kemudian, tahun 1685 Johan Zahn membuat kamera portable (bisa dibawa kemana-mana), lalu tahun 1877 Louis Arthur Ducos du Houron mencetuskan foto yang berwarna untuk yang pertama pertama kalinya.
Hingga hari ini, kamera terus berkembang dengan pesat. Baik dari segi jenis maupun manfaatnya. Kamera tidak hanya menangkap gambar tunggal (potret) namun juga gambar bergerak (video).Â
CCTV bisa kita ditemui di berbagai sudut kota untuk membantu pihak keamanan mengendalikan lalu lintas dan tempat-tempat umum, perusahaan swasta juga masyarakat secara pribadi, sangat banyak yang menggukanannya.Â
Kamera ada di laptop, di kendaraan bermotor, di pulpen (kamera pengintai), berkembang menjadi mikroskop untuk menganalisa makhluk sangat kecil, atau berkembang pula menjadi teleskop guna menjadi alat yang membantu manusia menjawab rasa penasaran dan mengembangkan ilmu pengetahuannya. Serta banyak manfaat yang lainnya.
Di Indonesia, Pengguna Media Sosial Aktif mencapai 160 juta dari total populasi (jumlah penduduk) 272,1 juta jiwa (sumber: datareportal 2020), artinya lebih 59% dari total penduduk secara aktif menggunakan media komunikasi digital.Â
Berkomunikasi melalui tulisan dan fotografi menjadi budaya baru mayarakat kita, aktifitas profesi, liburan bahkan peristiwa-peristiwa penting yang dulu hanya diabadikan dan diberitakan oleh wartawan, kini semua orang bisa melakukannya.
Tak luput juga aksi-aksi mahasiswa saat akhir-akhir ini tengah sibuk menyampaikan aspirasinya tentang Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dengan aksi 'turunjalan' (demonstrasi).Â
Berbagai kelompok mahasiswa yang berdiri di bawah banyak bendera organisasi kemahasiswaan, bersama-sama 'menggeruduk' gedung DPR yang terjadi baik pusat maupun daerah. Yang menarik, postingan-postingan mereka saat "menyuarakan suara hati rakyat" itu makin hari semakin tampil lebih estetik Dengan kemampuan editing yang lumayan baik, kebanyakan mahasiswa (pendemo) tidak hanya memposting hasil jepretan mereka apa adanya, namun sebelumnya dipoles terlebih dahulu dengan cropping, efek focus, kontras, saturasi, gradasi dan coloring, highlight maupun shadow yang lebih baik.
Misal, potret seorang perempuan yang sedang berorasi di atas sebuah mobil kemarin saat berdemonstrasi menentang RUU Cipta Kerja (9/10), dengan megaphone di tangan kakannya serta tangan kirinya menunjuk pada aparat keamanan yang berbaris di depannya, di sekitarnya, ratusan teman-teman mahasiswanya terlihat bersemangat meneriakkan poin-poin penting yang "harus didengarkan" oleh para wakil rakyat yang mereka sambangi.Â
Potret itu bernuansa warm dengan dominasi warna kontras antara coklat kemerah-merahan di bagian highlight dan warna gelap di bagian shadow. Sebuah foto yang menggambarkan suasana yang serius dan genting, juga representasi dari wanita yang memiliki kesempatan sama dengan laki-laki dalam menyuarakan pendapatnya.Â
Ada juga foto petugas kepolisian yang berbagi makanan dan minuman dengan para demonstran. Foto terlihat jelas dengan warna yang alami, tidak terlihat seragam polisi atau almamater mahasiswa yang kusut, kotor akibat saling dorong atau beradu fisik lainnya, menggambarkan sebuah demonstrasi yang berlangsung aman tanpa aksi anarki.
Di media sosial, foto-foto tersebut menjadi biasa dilihat oleh banyak orang, (terlebih saat kini aplikasi fotografi, grup-grup fotografi sangat banyak jumlahnya sehingga jangkauan sebaran konten-konten yang memiliki nilai berita hangat sangat mudah viral) konten yang bersifat massal direpetisi terus-menerus secara tidak langsung akan menanamkan nilai dan keyakinan bahwa di Indonesia, (salah satunya adalah) hak berpendapat warga negara sebagai salah satu instrumen negara demokrasi benar-benar subur terawat.
Terlepas dari beberapa aksi anarkisme yang pernah pula dijumpai, namun kedudukan demokrasi tetap menjadi ruh dari siapapun yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Fotografi tidak lagi menjadi sekedar hobi dan profesi. Di Negara yang pengguna aktif media sosialnya lebih dari separuh jumlah seluruh rakyatnya seperti Indonesia, itu menjadi budaya baru.Â
Ungkapan "A picture is worth a thousand words." yang berarti bahwa sebuah foto memiliki seribu kata untuk menceritakan peristiwa, menjadi pertimbangan pengguna media sosial selalu mengembangkan kemampuan fotografinya.Â
Setelah diunggah di media sosial maka semua menjadi 'abadi' sebab akan bisa dilihat kembali di masa yan akan datang. Karya sesederhana apapun akan tersimpan dengan baik apalagi karya (fotografi) yang sudah viral di masyarakat.
Kebanyakan dari kita tidak menyadari hal tersebut, namun bagi pemerhati komunikasi khususnya pegiat fotografi, realitas sosial yang terjadi di sekitarnya mengandung makna yang kaya.Â
Fotografi yang kini menjadi tren baru pengguna media sosial di indonesia, diharapkan menjadi saluran komunikasi dalam bukan hanya apresiasi seni namun juga menjadi dokumentasi sejarah yang baik karena dilakukan oleh masyarakat sendiri tanpa intervensi pihak manapun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI