Pembelajaran semasa Covid-19 ini (sekarang Omicron) memang banyak kendala yang dialami oleh banyak pelajar, terutama pelajaran eksak seperti Matematika.
Ceritanya begini, sewaktu adik penulis hendak ujian masuk ke SMA, ada beberapa tahapan yang perlu dilalui. Di jadwalnya tesnya dimulai dari 08.00-12.30, dengan tes yang dilalui adalah Psikotes, TPA, dan Wawancara.
Saat penulis tanyai bagaiman kesiapan dengan ujian, si adik berkata kalau ia sudah banyak mengerjakan soal yang ada di buku. Bahkan katanya sehari bisa menghabiskan 2 ujian sekaligus dalam waktu 1 minggu berturut-turut.
Tetapi yang jadi masalah utama, ketika penulis tanya tentang kesiapan dengan pelajarna Matematika, ia geleng-geleng kepala.
Penulis coba uji kemampuan bagaimana ia menguasai Matematika. Dan ternyata, Matematika yang selama ini ia pelajari 3 tahun nampak tidak ada yang masuk di kepala.
Sebab, kalau masuk kepala, setidaknya pertanyaan penulis tentang Matematika tingkat SMP bisa ia jawab dengan sebisanya, meski tidak 100%
Dan ini parahnya mungkin hanya ada 5% ilmu yang masuk dikepalanya. Itupun pelajaran SD yang diulangi dengan diubah sedikit bentuknya. Penulis benar-benar jengkelnya minta ampun.
Tetapi, karena memang kondisi pandemic yang memang tidak diprediksi sebelumnya, penulis harus tetap tenang dan atur strategi yang baik.
Ya penulis harus mengajarinya dari dasar dan banyak berdoa untuknya. Bagaimana tidak, ini hari sudah H-1, sedangkan pelajaran Matematika untuk tes besok masih tidak karuan?
Tentu di Psikotes maupun TPA sudah pasti ada Matematika. Dan itu persentasenya kalau merujuk ke pengalaman penulis ya sekitar 25% dari soal. Sangat sayang kalau ia tidak bisa menjawab soal tersebut dengan tepat.
Dan kalau belajar Matematika, itu tidak bisa langsung hitungannya cepat. Matematika itu perlu latihan menghitung secara konsisten.
Contoh penulis saja ketika ada mata kuliah Matematika Ekonomi, satu soal saja bisa menghabiskan 30 menit kalau tidak terbiasa latihan. Kalau sering latihan, 5 menit selesai.
Dan itu penulis beruntung masih offline (saat semester 2). Itu aja yang online, penulis kira-kira hanya 50% materi yang masuk. Penulis memang paham rumusnya, tetapi tiap menghitung itu selalu saja salah hasilnya. Sangat menyebalkan.
Ditambah kondisi pandemic ini, semua pelajaran harus daring. Memang ada sebagian kampus pada waktu lalu yang sempat daring. Tapi karena kasus Omicron yang masih meningkat, maka pembelajaran menjadi daring kembali.
Kalau dibilang jujur-jujuran, sebaiknya untuk pembelajaran eksak dan praktik seperti Matematika, Laboratorium, Statistika, dan lainnya pakai system PTM (pembelajaran Tatap Muka)
Kalau dari pengalaman pribadi, untuk pelajaran non-eksak seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan sebagainya itu dibikin daring masih okelah. Sebab itu bisa dipelajari pribadi dan intinya kalau semangat belajarnya tinggi, maka penulis yakin 100% pelajaran tersebtu bisa masuk di kepala.
Kalau pelajaran eksak tidak bisa, sebab ia adalah ilmu pasti. Bagaimanapun benar rumusnya dan panjang proses menghitungnya, kalau hasilnya salah ya tetap salah.
Penulis sendiri sebenarnya untuk belajar non-eksak dengan jumlah waktu 1 semester, itu bisa menguasai dalam waktu 1 minggu. Tentu dengan cara membaca puluhan buku/jurnal yang ada tiap harinya.
Kalau Matematika, penulis tidak bisa mempelajarinya secara otodidak.
Terlepas dari stigma orang-orang yang berkata kalau Matematika itu menakutkan dan sulit. Kalau menurut penulis itu tergantung guru yang mengajarkannya.
Kalau gurunya memang ahli dan bisa menjelaskan dengan runtut kepada anak didiknya, maka Matematika bisa jadi hal yang asyik.
Apalagi kalau dikaitkan dengan kehidupan nyata dan profesi, sebenarnya Matematika itu sangat penting untuk dikuasai dan dipelajari.
Katakanlah mau buka toko, maka tentu ada yang namanya penghitungan keuntungan. Yang dipakai adalah Matematika dasar seperti tambah, hitung, kurang, bagi, dan sebagainya.
Oh iya satu lagi, pengalaman penulis mengajari anak SD, yang miris bahwa anak kelas 6 ada yang masih tidak bisa membaca jam dan cara melakukan perkalian dan pembagian. Jumlahnya ya katakanlah 4-5 orang. Ada juga cerita anak SMP kelas 2 (dari teman penulis) yang membaca jam masih kagok.
Padahal, kelas 6 itu bisa dikatakan adalah siswa yang paling tua dan terpintar yang ada di kelas. Dan ketika sharing kepada teman penulis yang sama-sama mengajar, memang ada masalah bahwa seperti tidak ada bedanya antara kelas 1-6.
Maksudnya, kalau kelas 6-nya saja begitu, bagaimana dengan kelas yang lain. Mungkin begitu yang ada dipikiran teman-teman penulis saat sharing bersama di lokasi.
Padahal itu masih berlaku system PTM, belum daring. Coba kalau dibikin daring, belajar 6 tahun itu akan sangat sia-sia jika tidak dibantu dengan inisiatif belajar yang kuat dalam pribadi murid.
By: M. Saiful Kalam
Source: Pengalaman Pribadi dan Teman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H