Mohon tunggu...
muhammad sadji
muhammad sadji Mohon Tunggu... Lainnya - pensiunan yang selalu ingin aktif berliterasi

menulis untuk tetap mengasah otak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perang Rakyat Surabaya Versi Mayjen TNI (Purn) Prof. DR. drg. Moestopo

24 Juni 2024   23:53 Diperbarui: 24 Juni 2024   23:53 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 1973 sampai dengan tahun 1975 saya menjalani tugas belajar di Akademi Minyak dan Gas Bumi (Akamigas) Cepu. Salah seorang dosen pengajar adalah Prof. DR. drg. Mayor Jenderal (Purn.) Moestopo. Beliau mengajar mata kuliah Pancasila dan datangnya hanya sebulan sekali. Kalau datang mengajar, beliau selalu mengenakan seragam TNI-AD dengan pangkat Jenderal Bintang Dua alias Mayor Jenderal. Suatu ketika beliau datang dengan Pakaian Dinas Upacara  (PDU) lengkap dengan  tanda jasanya. Juga membawa pistol yang secara tiba-tiba dikeluarkan dari saku jasnya, ditaruh di atas meja dengan gaya sedikit melempar, "glodak" bunyinya. Karena beliau setiap datang pasti penuh canda ria, maka kuliah kami buka dengan menyapa :"Pak, kita jangan ditembak!".  Yang langsung dijawab oleh Pak Moestopo :"Tenaang kalian, walaupun tantara, saya ini nggak bisa nembak".

 Dan, seorang teman ada yang berani nyeletuk :"Lho, kok bisa Pak?".  Beliau kemudian bercerita menjelaskan dengan penuh gelak tawa. Bermula dari  perang rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu yang didomplengi Belanda ingin kembali menjajah NKRI. Pak Moestopo sebagai Dokter Gigi, mengaku terpanggil ikut berjuang dengan menghimpun para tukang becak, gelandangan, pengemis dan para pengangguran untuk ikut maju bertempur dengan senjata apa pun. Menghadapi perlawanan dari segala penjuru bak air bah tanpa kendali, tentara Sekutu yang dipimpin pasukan Inggris dan sempat kehilangan Jenderal Mallaby yang tewas tertembak, membuat pihak Inggris minta berunding untuk gencatan senjata. Mereka minta berunding dengan Presiden Soekarno untuk meredakan peperangan. Mengikuti para penasihatnya, Presiden Soekarno tidak bersedia datang ke Surabaya, tetapi menugaskan Gubernur Jawa Timur Ario Soerjo. Ternyata pihak Inggris menolak dan minta berunding hanya dengan tentara yang bisa berbahasa Inggris. Lalu Presiden Soekarno menunjuk drg. Moestopo mewakili pemerintah Indonesia dan diberi pangkat Jenderal Bintang Dua. Perundingan berhasil, Inggris berikut sekutunya angkat kaki dan peristiwa heroik pada bulan Oktober -- November 1945 itu diabadikan sebagai Hari Pahlawan Nasional yang diparingati pada setiap tanggal10 November.

       Setelah peperangan usai berkat perundingan gencatan senjata, Pak Moestopo kemudian melapor kepada Presiden Soekarno melalui telpon, disertai pertanyaan :"Bagaimana dengan pangkat militer saya, Bung?". Yang konon dijawab spontan oleh Presiden Soekarno :"Ya, pakai saja terus!".  "Maka jadilah pangkat Mayor Jenderal itu saya sandang terus sampai sekarang, tidak pernah naik-naik karena saya tidak bisa menembak", kata Pak Moestopo mengakhiri penjelasannya dengan tertawa lepas khas beliau. Pelajaran berharga dari cerita Pak Moestopo tersebut, ternyata bahwa rakyat Surabaya pernah mengobarkan "perang rakyat semesta" untuk mengusir bangsa asing yang mau menjajah NKRI. Tentara regular sebenarnya belum ada karena secara resmi Tentara Nasional Indonesia (TNI) baru terbentuk pada tanggal 5 Oktober 1945. Mereka hanyalah rakyat biasa yang tergabung dalam laskar-laskar dan masyarakat jelata atau milisi yang berani berjihad, bertempur dengan persenjataan apa pun. Perang rakyat semesta itu berhasil dikobarkan antaralain oleh peran Gubernur Soerjo dan Bung Tomo yang berpidato berapi-api melalui siaran radio lokal. Semangat nilai-nilai kepahlawanan rakyat Surabaya itu sebenarnya sudah terbukti dalam peristiwa pertempuran antara tentara Raden Wijaya melawan pasukan Mongol pimpinan Kubilai Khan pada tahun 1293. Pertempuran bersejarah pengusiran tentara Mongol yang mau menjajah wilayah Nusantara itu, tanggalnya diabadikan sebagai berdirinya kota Surabaya yang diperingati pada setiap tanggal 31 Mei.     

       Itulah contoh nyata "Perang Rakyat Semesta" yang juga pernah saya pelajari ketika mengikuti WALAWA (Wajib Latih Mahasiswa) di Depo Pendidikan Infantri (Dodikif) V Kodam VII Diponegoro di Klaten -- Jawa Tengah. Pada awal tahun pertama di Akamigas saat itu, ada kewajiban mengikuti WALAWA selama bulan Januari 1973 yang materi dan prakteknya setingkat dengan Pendidikan Tamtama di TNI-AD. Nah, daripada menjadi bulan-bulanan Israel selama bertahun-tahun, mungkinkah rakyat Arab-Palestina menerapkan perang rakyat semesta seperti rakyat Surabaya yang gagah perwira dan tidak mengenal menyerah?  Semoga teman-teman sekelas di jurusan Marketing Operation (MO) Akamigas Angkatan VII/1973 masih mengingat kisah heroik Pak Moestopo tersebut.*****Bekasi, Juni 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun