Pada tahun 1974 saya duduk di tingkat dua Akademi Minyak dan Gas Bumi (AKAMIGAS) Cepu. Untuk mata kuliah Pancasila, saya mendapat kuliah dari dosen Mayor Jenderal TNI (Purn) Prof. Dr. Moestopo yang datangnya hanya sebulan sekali.
Setelah Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), beliau datang untuk mengajar. Peristiwa Malari adalah demonstrasi mahasiswa besar-besaran menentang Pemerintahan Suharto dan menolak kehadiran investor dari Jepang. Demonstrasi tersebut disertai dengan pengrusakan dan terbakarnya Proyek Pasar Senen.Â
Dalam kuliah selama dua jam, antaralain menekankan bahwa mahasiswa Akamigas jangan ikut-ikutan demonstrasi seperti mahasiswa di Jakarta, karena mahasiswa Akamigas itu dibiayai oleh negara dengan status sebagai mahasiswa tugas belajar atau ikatan dinas.Â
"Sekarang ini ada pembangunan, dulu tidak ada! Maka kita harus jaga stabilitas agar pembangunan berjalan dengan baik dan lancar!", demikian antaralain kata-katanya dengan berapi-api di dalam kelas karena marah terhadap aksi mahasiswa di Jakarta yang disebutnya merusak.Â
Setelah membahas berbagai masalah dengan panjang-lebar, beliau kemudian membuka kesempatan untuk membahas materi yang telah disampaikan. "Hayo... ada yang menyanggah apa yang telah saya sampaikan? Ada tanggapan, silakan!", katanya dengan nada menantang, Dan tiba-tiba saya terpancing untuk angkat tangan dengan maksud ingin minta pencerahan.
"Saya tanya , Pak!", seru saya yang sebenarnya agak takut-takut. "Ya, silakan!", balasnya. "Tadi Bapak bilang, sekarang ada pembangunan, dulu tidak ada!", saya melanjutkan. "Ya, kenapa?", tanyanya spontan. Yang kemudian saya jawab :"Saya itu kolektor prangko, Pak!". Yang langsung ditangkis :"Apa hubungannya?".Â
Maka saya jelaskan dengan setenang mungkin :"Begini, Pak! Salah satu koleksi prangko saya itu bergambar Presiden Soekarno sedang mencangkul dan teksnya berbunyi -- Ajunan Tjangkul Pertama Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1 Januari 1961 -- yang sejatinya pembangunan tersebut dilaksanakan sampai dengan 31 Desember 1969. Lalu kenapa tadi Bapak bilang, dulu tidak ada pembangunan? Mohon maaf Pak, itu pertanyaan saya!".
Di luar dugaan, yang tadinya saya agak takut-takut, ternyata pak Moestopo menyahut dengan berapi-api dan mengacungkan jempol tangan kanan, menuju ke arah saya duduk.Â
Ucapannya masih terus saya ingat :"Kamu hebat! Kamu benar! Kamu pemberani! Tidak ada orang berani mengatakan seperti kamu! Kamu hebat, Bung Karno memang ada pembangunan, tetapi karena ada peristiwa Gerakan 30 September 1965, Bung Karno bilang pembangunan mundur selama tigabelas tahun!". Kamu hebat, diucapkan Bapak Jenderal itu berkali-kali sambil memberi acungan jempol berkali-kali untuk saya.
Prangko tersebut mempunyai harga nominal 75 sen dengan perforasi 12 : 12, dicetak sebanyak 5.150.000 buah. Terbukti bahwa prangko bisa merupakan bukti dokumen sejarah yang patut disimpan oleh siapa pun sebagai benda koleksi dan ternyata sangat berguna.Â