Mohon tunggu...
muhammad sadji
muhammad sadji Mohon Tunggu... Lainnya - pensiunan yang selalu ingin aktif berliterasi

menulis untuk tetap mengasah otak

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia Mencari Pemimpin Negarawan

28 Juni 2022   23:25 Diperbarui: 28 Juni 2022   23:41 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Jokowi pada Mukernas PDIP tanggal 21 Juni 2022 menyatakan, bahwa Indonesia perlu pemimpin yang konsisten dan berani menghentikan ekspor bahan mentah untuk diolah di dalam negeri. Hal ini perlu ditempuh, jika ingin menjadi negara maju pada tahun 2045 dengan Income per Capita yang diperkirakan mencapai 21.000 -- 27.000 US $. 

Diperlukan tiga hal untuk mencapai itu, yaitu : tersedianya infrastruktur yang baik, adanya SDM (Sumber Daya Manusia) yang mumpuni, dan melakukan hilirisasi bahan mentah. Namun diakui, yang paling sulit adalah mengubah dan membentuk SDM Indonesia yang mumpuni. 

Itu adalah pernyataan resmi Presiden Jokowi yang pada tahun 2024 nanti akan mengakhiri masa jabatannya. Idealnya, seorang pemimpin pasti menginginkan penggantinya nanti adalah sosok yang bisa meneruskan program dan visi-misinya agar pembangunan bisa berjalan berkesinambungan.

Sementara itu Rakernas Partai Nasdem menghasilkan musyawarah-mufakat tiga calon presiden sebagai pilihan arus bawah Partai Nasdem. 

Mereka yang terpilih adalah Anies Baswedan, Muhammad Andhika Perkasa dan Ganjar Pranowo Rakyat Indonesia yang berkepentingan, mestinya harus punya penilaian atas ketiga calon rekomendasi Partai Nasdem tersebut. Apalagi ada yang mewacanakan figur lain, misalnya Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Erick Tohir, Ridwan Kamil, Muhaimin Iskandar, Puan Maharani dan beberapa nama lagi. 

Memilih pemimpin itu sebenarnya juga merupakan ujian dari Tuhan Yang Mahakuasa, jujur dan cerdaskah bangsa itu dalam menilai calon pemimpinnya. Sistem demokrasi sekarang ini memungkinkan bangsa Indonesia siap memilih pemimpinnya yang baik dan berkarakter negarawan. 

Apalagi kalau berkemampuan mengembangkan nalar untuk menilai setiap calon dengan jujur dan berwawasan kebangsaan yang baik. Sebagai contoh, tokoh yang diajukan Partai Nasdem yang disebut merupakan usul dari bawah. 

Ketua Umumnya, Surya Paloh dalam pidato pengantar menyebut tidak suka orang yang sombong dan congkak serta menentang faham khilafah, kok merekomendasikan seseorang yang faktanya pernah bersinggungan dengan aktivitas yang ditentang itu. 

Apakah banyak yang tidak tahu ketika yang bersangkutan tampil di acara Aksi 212 di Monas, ikut berorasi dan menyebut Lapangan Monas sebagai tempat berkumpul aksi massa sejak dulu. Kenapa tidak menyebut Bung Karno yang pernah menerima ribuan massa rakyat di Lapangan Ikada sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan? Agaknya dia rada tabu menyebut nama Bung Karno ketika beretorika. 

Mengganti nama jalan yang sebenarnya juga legendaris sebagai kawasan dan merupakan bukti artefak sejarah, agaknya lebih penting daripada memperbaiki keramik patung Pak Tani yang beberapa diantaranya ada yang copot atau lepas. 

Kenapa atau ada pandangan apa terhadap patung yang dibangun pada masa Presiden Soekarno yang juga merupakan ikon Ibukota itu, atau cuma karena lolos dari pandangannya saja? Apakah perilaku dan gerak-gerik calon dianggap hanya angin lalu terhadap masa depan bangsa? Cukupkah hanya melihat ketokohan seseorang saja, pada hal banyak yang penuh dengan gaya pencitraan?

"Hari esok Anda ditentukan oleh pekerjaan Anda hari ini", kata John F. Kennedy. Ini menunjukkan arahan, bahwa apabila kita ingin maju ketika NKRI berusia 100 tahun pada tahun 2045, carilah pemimpin yang baik dan benar dari sekarang. 

Kriteria itu menuntun kita untuk menyelidiki capres/cawapres yang paham sejarah perjuangan bangsa dengan baik, benar dan jujur, serta memahami kenapa terjadi gerakan reformasi pada tahun 1998. Malah, rumusan UUD 1945 asli yang menghendaki Presiden dan Wakil Presiden harus orang Indonesia Asli perlu dikedepankan. 

Rumusan itu digagas oleh para Perintis Kemerdekaan yang mengalami langsung pahit-getirnya penjajahan, dan konsep itu mengandung pesan agar tercapai pembauran melalui asimilasi tuntas apabila ingin menjadi atau mempersiapkan anak-turun menjadi Capres/Cawapres. 

Dengan begitu, jangan lagi timbul kecenderungan keturunan Arab hanya mencari jodoh orang Arab, keturunan Tionghoa mencari orang Tionghoa atau keturunan India hanya mencari jodoh orang India. Rumusan amandemen UUD 1945 setelah reformasi mungkin berbahaya untuk keutuhan dan masa depan bangsa. 

Mementingkan kelompok dan kroninya adalah bentuk ancaman terhadap bahaya ini. Dalam hal ini, proses asimilasi tuntas perlu dicapai agar calon Pimpinan Nasional tidak terkotak-kotak karena ras dan golongan, apalagi dengan khayalan dan agendanya masing-masing yang bisa membahayakan persatuan nasional. Pemimpin yang kita inginkan adalah yang paham sejarah bangsa secara baik dan benar. 

Paham masalah bangsa yang menghambat kemajuan, yaitu kebodohan, kemiskinan dan masalah korupsi. Apabila mengambil konsep agama, pemimpin yang baik adalah sosok yang beriman dan bertaqwa. Bukti dari perilaku pemimpin yang baik dan kategori negarawan adalah : 

tidak suka berbohong, tidak munafik, tidak suka membunuh, tidak suka memfitnah apalagi tanpa dasar, tidak menyekutukan Tuhan dengan bersekutu ke dukun/paranormal, dan tidak berbuat maksiat termasuk korupsi dalam segala bentuknya. 

Semua itu adalah merupakan dosa besar bagi seorang pemimpin yang ancamannya adalah neraka jahanam dan dikhawatirkan bisa berpengaruh terhadap perikehidupan bangsa dan rakyat. 

Pemimpin perlu paham mawas diri bangsa, kenapa Tiongkok dan India yang merdeka belakangan kok bisa lebih dulu maju dalam segala hal. Tentu kita ada yang salah dalam membawa perjalanan bangsa, dan bukan mustahil bisa saja karena pernah salah memilih dan mengamini suatu rezim yang keliru.

Alhasil, kita memerlukan pemimpin negarawan yang ikhlas bekerja untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Bukan orang yang berpura-pura apalagi kalau cuma untuk pencitraan. 

Sebab kata ceramah agama, kepura-puraan dan pencitraan tersebut kelak bisa sebagai bahan bakar api neraka ketika pada hari pembalasan bagi yang bersangkutan dan dikhawatirkan negara akan terpuruk. Bahkan untuk menghindari polarisasi karena adanya partai berazas agama, perlu dirumuskan konsensus nasional hanya ada dua partai nasionalis. 

Biarlah kemudian dalam partai itu para kader terbaiknya saling berlomba untuk menempa diri menjadi pemimpin negarawan. Saling komunikasi antar partai politik sudah terjalin. Mungkinkah mereka bisa saling bergabung untuk membentuk hanya dua Partai Nasionalis? Wallahua'lam bissawab.*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun