Situasi politik di Jakarta jelang Pilkada 2017 sedang memasuki babak menegangkan bagi partai politik yang telah menetapkan calon gubernur maupun yang masih menimbang-nimbang nama yang akan diputuskan diusungnya.
Bagaimana tidak. Tiga (3) partai politik (Hanura, Golkar dan Nasdem) yang telah menarik paksa AHOK dari jalur Independen pun, mengisyaratkan ketidakbulatan keputusannya memenangkan AHOK di Pilkada 2017.
"Tahu sendirilah kader Golkar. Di Golkar itu yang anti Ahok banyak," ujar Nusron (8 Agustus 2016).
Bagaimana arah pilihan Parpol lain yang menolak memberi dukungan terhadap AHOK, terutama GERINDRA?
Sebelum memulai analisa atas potensi pilihan dari parpol yang menolak AHOK, kita perlu membaca terlebih dahulu perolehan kursi parpol-parpol tersebut di DPRD DKI Jakarta.
PDI Perjuangan : 28 kursi
Gerindra : 15 kursi
PKS : 11 kursi
PPP : 10 kursi
Demokrat : 10 kursi
HANURA : 10 kursi
GOLKAR : 9 kursi
PKB : 6 kursi
NASDEM : 5 kursi
PAN : 2 kursi
Berdasarkan UU 2015 tentang PILKADA, syarat pencalonan bagi parpol atau gabungan parpol adalah memiliki dukungan minimal 22 kursi DPRD. Sehingga akan diperoleh kemungkinan besar ada 4 atau 3 pasangan cagub – cawagub.
Akan tetapi, problem yang dihadapi secara umum oleh setiap partai politik saat ini adalah minimnya kader populer dan potensial yang dapat diajukan kepada publik dan memiliki keterpilihan besar. Hal ini mengakibatkan parpol-parpol yang ada harus mencari tokoh-tokoh dari luar.
Ditengah krisis kader yang mumpuni dan berpengalaman secara organisatoris, tokoh-tokoh yang masuk dalam radar pengamatan parpol juga masih jauh dari harapan penerimaan publik. Kecenderungan yang berkembang saat ini, parpol lebih memilih untuk mencalonkan kepala daerah – kepala daerah yang dinilai relatif berhasil di daerahnya asing-masing. Misal, Tri Rismaharani dan Ridwan Kamil.
Pada titik inilah sesungguhnya partai politik dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Mengapa disebut pilihan sulit? Sebagian publik yang betul-betul memperhatikan perjalanan politik di Jakarta memiliki pandangan (bisa jadi ini adalah pandangan bawah sadar mayoritas pemilih Jakarta) bahwa pertarungan Jakarta sesunguhnya adalah permulaan penentuan dari pertarungan sesungguhnya pada Pemilu 2019 nanti.
Bagaimana dengan langkah Gerindra dalam memastikan calonnya sanggup untuk memenangkan pertarungan Pilkada Jakarta?
Untuk menjawab pertanyaan diatas tentu bukan perkara mudah. Karena politik adalah arena menciptakan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Tetapi kemungkinan tersebut membutuhkan legitimasi personalitas yang dimiliki oleh subjek atau entitas yang bersangkutan.
Untuk mengurai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di internal Gerindra dalam Pilkada Jakarta, kita dapat melihat respon publik terhadap calon yang telah diajukan dan opini-opini yang dikembangkan oleh pengurus-pengurus Gerindra (DPP dan DPD DKI Jakarta).
Sebetulnya Gerindra telah memutuskan untuk mengusung Sandiaga Uno sebagai Cagub DKI pada 29 Juli 2016. Akan tetapi, setelah menentukan cagubnya, Gerindra sepertinya tidak terlalu yakin dengan cagub yang telah ditetapkan. Hal ini ditunjukkan oleh sikap Gerindra yang akan menerima posisi cawagub asal dapat berpasangan dengan calon dari PDI Perjuangan.
Disisi yang lain, santer beredar kabar bahwa sebagian internal Gerindra tidak setuju dengan keputusan mencalonkan Sandiaga Uno sebagai Cagub. Ada pula yang menyampaikan bahwa Sandiaga Uno tidak memiliki prestasi mentereng yang bisa menjadi daya tarik publik.
Mereka yang berada di internal Gerindra sebetulnya memiliki pengalaman negatif dalam bersentuhan langsung dengan Sandiaga Uno.
Misalnya saja, menurut beberapa orang yang mengenal dekat dengan Sandiaga Uno mengatakan bahwa Sandiaga Uno sering kali tidak menepati janji atas komitmen-komitmen yang ia sampaikan. Beberapa orang telah mengalaminya secara langsung ketika event-event dalam rangka kampanye pengenalan Sandiaga Uno ke publik. Penyelenggara seringkali kecewa dengan sikap Sandiaga Uno yang lepas tanggungjawab begitu saja. Makanya tak heran saat mencuat kembali kasusnya Sandiaga Uno dengan Dewi Persik, sebagian orag-orang itu berkelakar “ya memang dia (Sandiaga Uno) itu hanya tukang dp (down payment), habis itu dia kabur”.
Sementara itu, ketika nantinya tidak berhasil membangun koalisi dengan PDI Perjuangan, sebetulnya Gerindra masih memiliki kesempatan membangun koalisi sendiri. Misalnya membangun koalisi sendiri dengan salah satu parpol yang minimal memiliki 9 kursi. Artinya pilihan itu akan jatuh pada salah satu dari PKS, PPP dan Demokrat. Nah dari 3 parpol ini, belum tersedia tokoh yang memiliki popularitas dan elektabilitas melebihi petahana.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, Pilkada DKI adalah awal dari pertarunga sesungguhnya untuk Pemilu 2019, maka GERINDRA saat ini benar-benar bepikir keras untuk dapat mempertahankan elektabilitas partainya di Pemilu 2019 nanti. Karena Pemilu 2019 nanti akan memberi kesempatan bagi seluruh parpol peserta pemilu yang lolos ambang batas minimal suara pemilu legislatif dapat mencalonkan presiden. Dan tokoh yang memiliki popularitas tinggi dari GERINDRA saat ini masih menempel pada diri PRABOWO saja.
Oleh karena itu, untuk tidak mengulangi kekecewaan dan kekalahan yang sama seperti pada Pemilu 2014 yang lalu, sudah selayaknya Gerindra meletakkan calon dan pertarungan Pilkada DKI Jakarta untuk memenangkan Pemilu 2019.
Sebagai Partai yang notabene memiliki follorwer banyak dan cukup aktif di dunia daring, sangat disayangkan jika GERINDRA hanya akan mengangkat tokoh yang memang tidak memiliki legitimasi atau kapabilitas membawa pesan perubahan dari GERINDRA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H