Pada masa kekhilafahan Islam Bani Abbasiyah, syair merupakan suatu produk bahasa dan sastra yang kerap kali dihargai begitu mahal. Bahkan, setiap khalifah mempunyai penyairnya sendiri. Tak segan, para khalifah tersebut memberikan dinar dan dirham yang melimpah bagi mereka yang bersyair dengan indah dan mempesona hatinya.
Selain orang lain yang disuruh untuk bersyair, kerap kali para khalifah pun spontan bersyair tentang apapun yang dirasa -mampu- menggugah hatinya.Â
Sebut saja, ar-Rasyid, atau yang dikenal dengan Harun ar-Rasyid. Khalifah bani Abbas yang dikenal mempunyai sosok yang sangat cinta ilmu dan orang-orang yang berilmu ini pernah bersyair tentang budak perempuan yang dikaguminya kala itu.
Imam as-Suyuthi, seorang ulama dan cendekiawan muslim yang hidup di Mesir pada abad ke-15, mengungkapkan tentang hal ini. Ia menulis bahwa Ash-Shuli meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bin Fadhl bin ar-Rabi', ia menceritakan bahwa -di kala itu- ar-Rasyid bersumpah tidak akan memasuki bilik budak perempuannya selama beberapa hari, tetapi ia tidak mampu menahan gelora jiwanya. Kejadian ini pun membuatnya melantunkan sebuah syair:
"Ditutupnya semua celah
kala dilihatnya aku terbakar asmara
diujinya kesabaranku dengan cerdiknya
sunggguh ini adalah keajaiban masa".
Tak lama, lalu ia memanggil penyair pribadinya, Abul Atahiyah, dan ia pun berkata, "Ubahlah perkataanku itu menjadi sebuah ungkapan yang ringkas, tetapi mengena". Lantas Abu Atahiyah mengungkapkan:
"Keagungan cinta menelanjangi kelemahan diri
dalam keelokan  paras penuh binar
sebab itulah aku menjadi hamba bagi dirinya
hingga tersebar luas apa yang kuderita".
Kalau sedikit kita memaknai syair ar-Rasyid yang kemudian disempurnakan oleh Abul Atahiyah tersebut, kembali mengingatkan kita akan kehidupan dunia yang mempesona dan lantas membuat kita 'liar' dan terjatuh ke dalamnya.Â
Ya, dunia dan perhiasannya, kerap kali mempermalukan kehormatan kita yang seharusnya menjadi orang 'termulia' diantara makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. Wanita (juga laki-laki), jabatan, harta dan popularitas kadang membelenggu kita untuk terus mengejarnya, hingga kita harus jatuh bangun dan akhirnya mempermalukan diri kita sendiri.
Secantik apapun dunia, tetaplah 'budak' dan jadikan hanya sebagai 'budak'. Biarpun kita kagum, maka kagumilah secukupnya! Jangan sampai kita dipermalukan olehnya, karena kita terlalu berhasrat untuk mengejarnya. Karena betapa banyak orang yang terhormat -lantas- terjatuh karenanya.