Mohon tunggu...
Muhammad Rofy Nurfadhilah
Muhammad Rofy Nurfadhilah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menulis dan membaca merupakan cara yang paling elok dalam membunuh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Si Pongah, Pengolok Si Wabah

30 Maret 2020   10:05 Diperbarui: 30 Maret 2020   10:14 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sepenggal cerita dari banyak cerita yang beredar di suatu negeri. Bak udara yang mengalir, menebar dan menyebar entah kemana dan entah dari mana, cerita itu membuat telinga orang yang mendengarnya tersumbat oleh getirnya narasi dalam cerita tersebut. Wabah virus covid-19 yang kini menjangkiti "negeri seribu pemikiran" ini tak henti menghantui siapapun; tanpa terkecuali Si Kaya, Si Miskin dan Si Pejabat. Itulah faktanya, dan bukan cerita fiktif yang dibuat-buat.

Lantas apa maksudmu dengan cerita? Ya, baik! Cerita ini adalah cerita tentang virus yang kini menjadi bahan cacian dan bahan olokan bagi sebagian orang yang merasa benar; merasa kuat dan merasa percaya diri dengan keadaannya. Pemahaman sains apapun yang dikemukakan tak mampu membuat jera Si Pengolok; Si Penghina; atau Si Pongah ini, karena bak dinding beton yang berdiri tangguh menopang suatu wilayah, hatinya dan pikirannya yang pongah tak mampu memperoleh "hidayah" yang diejewantahkan Tuhan melalui penyakit yang dibuatnya.

Baik, kita kerucutkan! Ini adalah cerita tentang Si Pongah yang merasa benar terhadap pemahaman agamanya; merasa benar terhadap prinsip hidupnya, dan merasa benar terhadap pemikiran kecil yang bersarang di otaknya. Sehingga, apapun yang menjadi pendapat orang lain, terlebih-lebih pendapat Si Pengatur Negeri; Pemangku  Agama (MUI, red.) dan aparat yang telah mengatur warga di "negeri seribu pemikiran" ini disebutnya sebagai cucu dan cicitnya Dajjal.

Bak penjahat di mata Si Pongah, apapun yang dikemukakan oleh Si Pemangku Aturan tak membuat hati keras Si Pongah luluh. Mesjid yang merupakan Rumah Tuhan pun telah ditutup oleh mereka; para "Kaum Pengatur", menurutnya. Silaturahmi yang menjadi jalan persatuanpun dianggapnya telah dinodai oleh para "Kaum Pengatur". Menurut Si Pongah, kumpul-kumpul yang posif masih boleh, tapi kumpul negatif, baru tidak boleh. Itulah pendapat Si Pongah yang tidak mampu mengejawantahkan aturan Tuhan dalam sains, tatanan sosial dan tatanan negerinya. Terlebih-lebih, dia "Si Pongah" merasa  tak harus mengindahkan apapun yang menjadi keharusan dalam menahan gempuran Si Wabah.

Ketidakpahaman Si Pongah terus menjadi-menjadi ketika "Kaum Pengatur" memberikan solusi penting dalam mengatur negeri seribu pemikiran ini. Bodoh ditengah kebodohannya menjadi nilai tambah atas kepongahannnya.

Si Pongah. Itulah dia! Bukan anak ingusan, namun sikapnya seperti anak ingusan yang tak mau diatur oleh 'orang tuanya', yang lebih tahu akan kebaikan dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Si Pongah. Itulah dia! Kita, mereka, dia, aku ataupun kamu; yang masih merasa paling benar dan hebat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun