Ada sepenggal cerita dari banyak cerita yang beredar di suatu negeri. Bak udara yang mengalir, menebar dan menyebar entah kemana dan entah dari mana, cerita itu membuat telinga orang yang mendengarnya tersumbat oleh getirnya narasi dalam cerita tersebut. Wabah virus covid-19 yang kini menjangkiti "negeri seribu pemikiran" ini tak henti menghantui siapapun; tanpa terkecuali Si Kaya, Si Miskin dan Si Pejabat. Itulah faktanya, dan bukan cerita fiktif yang dibuat-buat.
Lantas apa maksudmu dengan cerita? Ya, baik! Cerita ini adalah cerita tentang virus yang kini menjadi bahan cacian dan bahan olokan bagi sebagian orang yang merasa benar; merasa kuat dan merasa percaya diri dengan keadaannya. Pemahaman sains apapun yang dikemukakan tak mampu membuat jera Si Pengolok; Si Penghina; atau Si Pongah ini, karena bak dinding beton yang berdiri tangguh menopang suatu wilayah, hatinya dan pikirannya yang pongah tak mampu memperoleh "hidayah" yang diejewantahkan Tuhan melalui penyakit yang dibuatnya.
Baik, kita kerucutkan! Ini adalah cerita tentang Si Pongah yang merasa benar terhadap pemahaman agamanya; merasa benar terhadap prinsip hidupnya, dan merasa benar terhadap pemikiran kecil yang bersarang di otaknya. Sehingga, apapun yang menjadi pendapat orang lain, terlebih-lebih pendapat Si Pengatur Negeri; Pemangku  Agama (MUI, red.) dan aparat yang telah mengatur warga di "negeri seribu pemikiran" ini disebutnya sebagai cucu dan cicitnya Dajjal.
Bak penjahat di mata Si Pongah, apapun yang dikemukakan oleh Si Pemangku Aturan tak membuat hati keras Si Pongah luluh. Mesjid yang merupakan Rumah Tuhan pun telah ditutup oleh mereka; para "Kaum Pengatur", menurutnya. Silaturahmi yang menjadi jalan persatuanpun dianggapnya telah dinodai oleh para "Kaum Pengatur". Menurut Si Pongah, kumpul-kumpul yang posif masih boleh, tapi kumpul negatif, baru tidak boleh. Itulah pendapat Si Pongah yang tidak mampu mengejawantahkan aturan Tuhan dalam sains, tatanan sosial dan tatanan negerinya. Terlebih-lebih, dia "Si Pongah" merasa  tak harus mengindahkan apapun yang menjadi keharusan dalam menahan gempuran Si Wabah.
Ketidakpahaman Si Pongah terus menjadi-menjadi ketika "Kaum Pengatur" memberikan solusi penting dalam mengatur negeri seribu pemikiran ini. Bodoh ditengah kebodohannya menjadi nilai tambah atas kepongahannnya.
Si Pongah. Itulah dia! Bukan anak ingusan, namun sikapnya seperti anak ingusan yang tak mau diatur oleh 'orang tuanya', yang lebih tahu akan kebaikan dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Si Pongah. Itulah dia! Kita, mereka, dia, aku ataupun kamu; yang masih merasa paling benar dan hebat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H