Nada-nada harmoni alam mulai terdengar teduh di telinga; suara kicau burung dan lompatan cerlih dari satu tangkai ke tangkai yang lainnya meninggalkan suara halus yang sedikit meneduhkan batin.Â
Kelakar mereka dalam menyambut pagi menyiratkan semangat untuk berbuat sesuatu untuk kesempurnaan hari ini. Dedaunan tertiup angin segar nan halus, seperti mengajak untuk bergumul, menapaki keteduhan yang dibuatnya. Mentari pun belum terlalu keras bersinar, berkasnya seolah menyiratkan harapan nyata untuk kebahagiaan di hari ini.
Dibalik jendela yang minimalis itu terpotret wajah Riana yang sejak subuh tadi sudah menyambut harinya dengan rutinitas yang nyaris tanpa beban. Ada siratan kebahagiaan yang terpatri di wajah halusnya yang terlihat mengkhianati umurnya yang sudah tidak belia lagi.Â
Ada lelah yang membuat fisiknya harus terhenti dan kini menyimpan sorot matanya keluar jendela; mematungkan badannya yang cukup ideal, namun tak tampak ada beban yang terlihat di wajahnya.
Perlahan dia menyunggingkan senyum penuh arti; sedikit menggambarkan pikiran dan hatinya yang tampak sedang harmonis.
"Aku jatuh hati, Tuhan!" gumam batinnya yang terdalam.
Angin halus menerpa jendela yang membingkai dirinya, menyibakan jilbab maroon yang menjulur panjang menutupi hampir seluruh badannya. Lekuk tubuhnya hampir terukir oleh tiupan alam yang sedikit tak tahu malu itu.Â
Bergegas ia menarik balutan busananya; walaupun tampak tak seorangpun yang memperhatikannya. Spontan, ia pun memperhatikan dadanya; memastikan rasa aman dari penglihatan orang lain.
Tak berselang lama, ia pun kembali asik memperhatikan suasana alam yang tampak cantik membalut setiap sudut halaman Villa mewah yang mewadahinya kini.Â
Pikirannya melayang ke belakang, menjauh dari realitasnya kini. Pertemuannya dengan sahabat lama tempo hari, atau entah beberapa minggu ke belakang, tanpa disadari telah mengubah suasana hatinya yang halus. Â Â