Parmin selalu mengoceh terlalu panjang dan bertele-tele, Sumirah menduga pagi tadi sebelum berangkat sidang, Parmin sarapan ulat dan pisang sambil bertengger di kandang. Apalagi kalau ceritanya sedang seru, selalu ia sampaikan dengan menggebu dengan muka senyum tanggung dan permainan mata, kadang melotot, kadang seperti orang kebingungan. Lebih-lebih setelah kuliah atau seminar di Makara Art Center di depan danau kenanga. Ocehannya bisa bertele-tele dari suara KRL yang terus-terusan bergerak antara Stasiun UI dan Pocin.
Sumirah sebagai kekasihnya sudah paham betul sifat-sifat yang demikian menurutnya menjengkelkan itu. Tetapi kali ini berbeda, bukan suatu kisah yang diambil dari kitab para pendongeng seperti Sapardi dan Seno Gumirah yang selalu ia ceritakan pada Sumirah, bukan juga puisi singkat, ngasal, dan ngawur yang sering dilemparkan pada Sumirah saat mereka sedang dalam momen haru, apalagi cerita tentang para filsuf dengan seabreg pikiran ndakik-ndakik tentang semesta yang sebenarnya semesta lebih setuju dengan para ilmuwan ketimbang filsuf itu. Bukan, bukan hal-hal itu yang kali ini diceritakan oleh Parmin.
Dengan mata sembab, tubuhnya melayu seperti sayur sawi atau kangkung bekas dipegang-pegang oleh para calon pembeli dengan tujuan mengecek kelayakan sayur itu untuk dimasak dan diberikan kepada anak-anak mereka. Lusuh, murung, lecek, dan nampak seperti lebih baik tubuhnya itu dicincang lalu dijadikan pakan ternak. Seperti sayur layu.Â
Di dalam pikirannya, Parmin mencoba menjelaskan dengan jelas tentang hal yang baru saja menimpa, barangkali bukan lagi menimpa, tetapi menibani pikirannya. Otak yang tinggal separo karena terkuras oleh skripsinya itu dipaksa menerima sepotong pesan yang panjangnya tak lebih panjang dari kalimat terakhir Soeharto sebagai presiden pada 21 Mei 1998 tetapi lebih berat dari janji reformasi. Sepotong pesan yang menyangkut segala hal, menurut Parmin. Seperti sepotong sebuah kalimat tanya antara pilih hidup atau mati.Â
Sebelum sepotong pesan itu diceritakan dengan panjang dan bertele-tele kepada Sumirah, pesan itu sebenarnya utuh satu kalimat panjang, tetapi yang muat di kuping Parmin hanya tiga kata pertama yang dilahirkan oleh dosen penguji setelah sidang tugas akhir dilaksanakan. "Parmin, sidangmu ditangguhkan"
Sepotong pesan itu disambut sepotong pesan lain yang dirajut dengan tema percakapan yang ramah sehingga nyaris seperti tidak ada masalah. Sebuah percakapan tanpa masalah. Atau seolah tidak ada masalah. Sudah sangat umum terjadi bahwa percakapan tanpa masalah dimungkinkan pada relasi pacar ke pacar, bukan pada dosen ke mahasiswa. Sebab percakapan tanpa masalah berisi ujaran-ujaran kasih sayang yang terus dilempar tapi tak kunjung puas. Sebuah percakapan tanpa masalah juga bisa berisi panggil memanggil saja. Jadi percakapan tanpa masalah pada pokok persoalan yang paling rumit bagi seorang mahasiswa adalah tidak mungkin, kecuali percakapan itu seolah meniadakan masalah, bukan tanpa masalah.
Percakapan menjadi seolah tanpa masalah sebab para penguji merajut potongan pesan itu dengan sangat baik dan rapih, diiris dan dijahit dengan ketelitian yang belum pernah terjadi di seluruh penyelenggaraan sidang tugas akhir filsafat UI agar tak terlihat permasalahan besar dibaliknya.Â
Parmin tak begitu menangkap dengan baik redaksi tepat yang dilahirkan dua penguji sidangnya hari ini, ia hanya bisa menangkap tiga kata pertama dan nuansa-nuansa keseluruhan pesan. Bahwa sidangnya ditangguhkan dan menurut para penguji itu bukan masalah, sebab kasus Parmin bukan tidak diluluskan seperti mahasiswa dengan otak rempeyek udang di warung padang kukusan teknik, tetapi ditangguhkan. Sidang yang telah dirampungkan dengan melebihi ketentuan pelaksanaan sidang dan molor sebanyak satu jam itu dianggap pra sidang, sehingga Parmin tidak usah bersedih karena ia bukannya tidak lulus karena bodoh, tapi karna sesuatu lain.
Demikianlah Parmin berusaha menceritakan dengan panjang dan bertele-tele kepada Sumirah tentang perasaannya gagal sarjana pada semester delapan, tentang bahwa ia sudah menyusunnya dengan baik tetapi tetap gagal, belum selesai ia bercerita panjang dan bertele-tele, kuping Sumirah mulai panas karena sesi baru dalam percakapan mereka berdua yakni sesi cengeng Parmin telah dimulai, oleh karenanya selagi Parmin terus bercerita, Sumirah mencari sela di mana ia bisa membungkan mulut Parmin dengan mencium bibir hitamnya yang rasa tembakau dan cengkeh itu, dan tetap tidak didapatkanlah suatu momen hening barang sebentar saja untuk Sumirah mencicipi rasa tembakau dan cengkeh di situ.Â
Mulut Parmin yang semakin mengoceh, semakin panjang, dan tetap bertele-tele. Kini Sumirah harus menimbang dan segera mengambil keputusan antara tiga situasi kritis itu. Hati pacarnya yang semakin hancur, Kupingnya yang semakin panas, dan masalah-masalah yang ia sendiri sedang hadapi. Situasi semakin kalut, gelap dan tak karuan. Mata Parmin yang putih jernih seperti dituang kopi panas. hitam dan menguap. Uapnya mengembun disudut kerling mata menjadi tetes air mata. Mulutnya sudah seperti ketel mendidih yang berisik tak karuan. Sementara kuping Sumirah sudah meleleh bercecer tak karuan. Di saat seperti itu segera saja ia bungkam bibir yang tertanggal di mulut Parmin yang ada entah kapan atau sudah sejak lahir ada bibir semacam itu yang menempel di mulut parmin tapi tak pernah disadarinya dengan ciuman. Bibir bergincu merah bertemu bibir sisa sigaret rasa tembakau dan cengkeh.Â
Untuk pertama kalinya tercipta suasana yang belum pernah mereka berdua rasakan. Hening betul. Lebih hening dari suasana kelas ketika dosen mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa. Lebih hening dari moment of silence di pertandingan UEFA Champions League untuk menghormati tragedi Kanjuruhan. hening tak terkira. setidak-tidaknya terjadi di hati dan pikiran masing-masing antara Sumirah dan Parmin. Ketel mendidih itu dengan cepat mendingin, masalah yang menggenang di otak sumirah mulai samar, kupingnya mendadak berhenti meleleh, dan hati pacarnya yang rapuh itu kembali menyusun dirinya sendiri.