Dampaknya pada Kehidupan Beragama
Ketika agama menjadi bagian dari konsumerisme, apa yang terjadi? Banyak orang akhirnya lebih terpikat pada kemasan daripada esensi. Ritual keagamaan yang dulu penuh makna kini berubah menjadi kegiatan yang "Instagramable". Pakaian muslim menjadi tren fashion, sementara ajaran agama kadang kehilangan ruhnya. Alih-alih mendekatkan diri kepada Tuhan, agama justru menjadi sarana pemenuhan kebutuhan duniawi(Saumantri, Hidayatulloh, and Meghatruh 2023).
Namun, apakah ini sepenuhnya buruk? Tidak selalu. Di satu sisi, konsumerisme agama membuat orang lebih mudah mengakses ajaran agama. Media sosial dan teknologi membuka pintu bagi mereka yang sebelumnya sulit mendapatkan bimbingan spiritual. Misalnya, orang-orang yang tinggal di daerah terpencil kini bisa menonton ceramah ulama terkenal melalui YouTube atau platform streaming lainnya. Hal ini tentu membawa dampak positif bagi penyebaran nilai-nilai agama.
Tetapi di sisi lain, kita perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam simulasi agama -- di mana kita lebih fokus pada citra dan gaya daripada makna sejati. Ketika agama lebih dipandang sebagai bagian dari gaya hidup, maka yang terjadi adalah pengaburan nilai-nilai spiritual. Orang mungkin lebih peduli pada bagaimana penampilan mereka saat beribadah dibandingkan dengan kualitas ibadah itu sendiri.
Menemukan Keseimbangan
Di tengah tren ini, pertanyaannya adalah: bagaimana kita bisa memanfaatkan perkembangan ini tanpa kehilangan inti dari agama itu sendiri? Mungkin, jawabannya ada pada kita masing-masing. Penting untuk kembali mengingat bahwa agama sejatinya adalah sarana mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan sekadar alat untuk memenuhi kebutuhan atau mengejar status sosial.
Pendidikan agama yang mendalam dan kritis bisa menjadi salah satu solusi. Dengan memahami esensi ajaran agama, masyarakat dapat lebih bijak dalam menyikapi tren konsumerisme ini. Selain itu, tokoh agama dan pemimpin komunitas juga memiliki peran penting untuk menjaga agar ajaran agama tetap otentik dan tidak terlalu terpengaruh oleh arus komodifikasi.
Jadi, lain kali saat kita melihat konten religius di media sosial atau tergoda membeli produk keagamaan yang sedang tren, mari bertanya: apakah ini mendekatkan kita pada makna spiritual, atau hanya memenuhi hasrat konsumtif? Sebab pada akhirnya, esensi agama bukan ada pada apa yang terlihat, tapi pada apa yang dirasakan dalam hati.
DAFTAR PUSTAKA