Agama dalam Era Modern: Lebih dari Sekadar Ibadah?
Pernahkah Anda merasa agama sekarang tak hanya soal doa atau ibadah, tetapi juga menjadi gaya hidup? Inilah yang disebut konsumerisme agama -- sebuah fenomena di mana agama diperlakukan layaknya produk yang bisa "dibeli" atau "dikonsumsi" sesuai keinginan pribadi(Saumantri, Hidayatulloh, and Meghatruh 2023). Di Indonesia, tren ini semakin terlihat jelas, apalagi di era media sosial yang serba digital(Shohebul Umam 2023).
Dulu, agama lebih bersifat kolektif. Ritual seperti salat berjemaah, pengajian, dan tradisi keagamaan dilakukan bersama-sama di komunitas(Hakim Saifudin 2019). Ulama dan tokoh agama menjadi panutan utama, dan ajaran agama dipahami sebagai pedoman hidup kolektif. Tapi sekarang? Agama mulai berubah arah. Ia tak hanya jadi panduan spiritual, tapi juga komoditas yang bisa disesuaikan dengan selera individu(Salempang 2022).
Dari Masjid ke Media Sosial
Masuk ke era 1990-an dan 2000-an, Indonesia mulai memasuki masa globalisasi dan kemajuan teknologi. Media massa dan internet membuka peluang baru untuk menyebarkan ajaran agama. Tetapi di sisi lain, agama mulai di "kemas ulang" agar lebih menarik dan mudah diterima. Televisi menayangkan acara keagamaan yang ringan, lengkap dengan artis terkenal. Media sosial pun penuh dengan ceramah pendek, kutipan bijak, hingga iklan produk religius seperti hijab bermerek atau tasbih elektronik.
Contohnya, influencer religi yang menggunakan media sosial untuk menyampaikan dakwah sekaligus memasarkan produk mereka. Siapa sangka, agama kini bisa tampil se"trendi" ini?.
Perubahan ini juga terlihat dalam perayaan hari-hari besar agama. Misalnya, Ramadan kini bukan hanya momen spiritual, tetapi juga waktu di mana iklan produk makanan, fashion, dan alat elektronik menyerbu media. Orang tidak hanya fokus pada ibadah puasa, tetapi juga berburu promo spesial(Alam 2024). Agama seolah menjadi bagian dari strategi pemasaran, bukan lagi semata-mata soal mendekatkan diri pada Tuhan.
Apa Kata Para Pemikir?
Menurut filsuf Jean Baudrillard, di era pascamodern, segala sesuatu -- termasuk agama -- berubah menjadi komoditas(Saumantri, Hidayatulloh, and Meghatruh 2023). Artinya, nilai-nilai spiritual yang dulu menjadi inti agama kini tergeser oleh citra yang dijual di pasar. Baudrillard menyebut ini sebagai "simulacra," yaitu representasi realitas yang menggantikan realitas itu sendiri(Ane 2023). Dalam konteks agama, ajaran yang seharusnya mendalam malah diubah menjadi sekadar citra menarik di layar kaca atau media sosial.
Dan hal itu sejalan dengan konsep Simulacra Baudrillard, ketika representasi agama (seperti ritual, simbol, dan praktik) lebih menonjol daripada esensi spiritual yang mendalam, maka individu dan masyarakat dapat terjebak dalam ilusi. Kita mungkin merasa dekat dengan agama, tetapi sebenarnya hanya berinteraksi dengan citra atau simulasi agama itu sendiri. Hal ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana platform media sosial menjadi tempat utama untuk memamerkan kesalehan, baik melalui unggahan doa, video ceramah, maupun pakaian religius yang dikenakan.
Contohnya, ceramah agama yang ditayangkan di televisi, youtube atau viral di TikTok sering kali menonjolkan pendekatan hiburan, seperti menampilkan tokoh agama yang dikenal karena gaya humoris mereka, ketimbang menyampaikan kedalaman pesan spiritual. Atau para selebgram dan influencer yang membuat konten-konten di Tiktok dengan menjual nama agama demi mendapatkan fyp atau like dan followers dalam jumlah yang besar.