Firewalk Studio, anak perusahaan Sony, baru-baru ini meluncurkan "Concord," sebuah game multiplayer first-person shooter (FPS) dengan kekuatan dan ability/skills di setiap karakternya yang mengambil inspirasi dari kesuksesan game-game seperti "Overwatch." Dengan harapan besar untuk menarik perhatian para pemain dan juga untuk dapat bersaing dengan game-game yang bertema sama, "Concord" dirancang sebagai game yang menonjolkan kompetisi tim dan gameplay yang menarik. Namun, hanya dalam dua minggu setelah peluncurannya, game ini ditutup, meninggalkan banyak pertanyaan di kalangan komunitas gaming. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa banyak yang merasa bahwa agenda woke dan dukungan terhadap komunitas LGBTQ+ dalam game ini berlebihan?.
Sebelumnya apa itu agenda woke? Agenda woke adalah istilah yang merujuk pada kesadaran sosial yang meningkat terhadap isu-isu seperti keadilan rasial, kesetaraan gender, dan hak-hak LGBTQ+, beberapa orang dari berbagai negara menganggap agenda ini sebegai agenda positif yang bertujuan mengangkat arti dari kebebasan , namun istilah ini sering kali membawa dampak negatif, terutama ketika dijadikan sebagai ukuran untuk menilai kualitas produk hiburan. Banyak orang merasa bahwa agenda ini telah menjadi sangat dominan dalam berbagai industri, termasuk hiburan dan game, yang mengarah pada persepsi bahwa elemen-elemen penting dari sebuah karya sering kali terabaikan demi penyampaian pesan sosial. Ketika agenda ini diterapkan secara berlebihan dan terkesan memaksa, sebuah produk atau industri dapat menciptakan ketidakpuasan di antara konsumen yang merasa bahwa mereka lebih tertarik pada hiburan yang berkualitas daripada pada materi yang terfokus pada isu sosial. Dalam konteks game, hal ini menjadi semakin rumit, terutama ketika pemain merasa bahwa gameplay dan cerita menjadi terpinggirkan.
Â
Seperti halnya agenda woke yang mengarah ke isu sosial untuk mencapai kebebasan hidup, ada juga agenda liberalis lainnya yaitu LGBTQ+. Lalu apa itu LGBTQ+, LGBTQ+ adalah akronim yang mencakup Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer, serta identitas lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir, ada dorongan signifikan untuk menonjolkan isu-isu hak LGBTQ+ dalam berbagai media, termasuk video game. Pengembangan karakter dan cerita yang merangkul keragaman identitas sering kali dianggap sebagai langkah maju. Namun, kemunculan agenda ini sering kali memicu reaksi negatif, terutama dari kalangan gamers yang merasa bahwa pesan-pesan tersebut mengganggu pengalaman bermain. Sementara ada banyak individu yang mendukung representasi LGBTQ+ dalam media, ada juga sebagian besar pemain yang merasa bahwa integrasi tema ini dalam gameplay terkadang tidak dilakukan dengan baik. Ketika fokus pada isu-isu sosial lebih besar daripada elemen permainan yang menyenangkan, hal ini dapat menyebabkan produk akhir yang tidak memuaskan.
Â
Salah satu kekurangan mencolok dari agenda woke dan integrasi LGBTQ+ adalah potensi untuk menarik segmen pemain tertentu. Banyak gamers merasa bahwa penekanan berlebihan yang mengarah ke pemaksaan pada identitas dan isu sosial dapat merusak esensi dari permainan itu sendiri. Dalam game Multiplayer First Person Shooter ini "Concord," ketika fokus pada penyampaian pesan sosial game Concord malah terkesan mengalahkan aspek gameplay yang seru dan kompetitif, yang pada akhirnya membuat pengalaman bermain menjadi kurang nyaman. Apalagi di game tersebut setiap karakternya dibedakan dengan pronounce atau penyebutan gender yang berbeda-beda, dan itu merupakan hal yang tidak penting dan tidak perlu ditegaskan dalam sebauh game kompetitif seperti Concord.
Banyak pemain yang lebih memilih untuk bermain game sebagai bentuk pelarian dari kenyataan. Mereka mencari pengalaman yang menantang dan sesuatu yang menguji keterampilan mereka, bukan suatu game dengan agenda yang terasa dipaksakan. Jika elemen sosial mendominasi suatu game, hal ini dapat menyebabkan ketidak nyamanan di kalangan pemain yang merasa terpaksa menghadapi isu-isu yang mereka ingin tinggalkan dalam dunia nyata.
Selain adanya agenda woke dan LGBTQ+ di game itu, gameplay yang di hadirkan juga dirasa tidak inovatif yang pada akhirnya game Concord ini tidak banyak dimainkan, serta harga game yang mahal pada awal perilisan yaitu berkisar Rp. 500.000 sampai Rp. 600.000, Sebagian orang menganggap harga tersebut normal di pasaran tetapi untuk sekelas game yang bertemakan sama seperti Overwatch yaitu multiplayer FPS dengan kekuatan/skills setiap karakter di jual dengan harga gratis. Karakter yang tersedia di game tersebut juga terkesan tidak menarik dan bisa dikatakan jelek sehingga tidak bisa membekas dan memikat hati para pemain yang telah mencoba game tersebut.
Para gamers juga memprotes bagaimana game ini yang dulunya banyak dinanti-nanti perilisannya malah di kecewakan oleh bagaimana pengembang game yaitu Firewalk Studio yang mengesekusi game ini. Sepinya pemain membuat game ini terasa hadir hanya untuk mengisi suatu gimmick marketing Sony agar dapat bersaing dengan game-game dengan formula sama seperti Overwatch.
agenda LGBTQ+ dan woke telah menjadi terlalu dominan dalam beberapa aspek industri game. mengesampingkan elemen dasar dari sebuah game yaitu hiburan yang berkualitas. Ketika penyampaian pesan sosial lebih diutamakan dibandingkan gameplay yang menyenangkan, hasilnya sering kali adalah produk yang tidak berhasil menarik minat para pemain, dan juga apabila suatu agenda yang terlalu dipaksakan hadir membuat para gamers jadi memandang agenda tersebut hanya hadir untuk merusak kesenangan para gamer dalam menikmati sebuah game. Developers juga harus ingat bahwa mereka bersaing untuk perhatian dan waktu yang berharga. Jika fokus mereka terlalu berlebihan pada isu-isu sosial tanpa memberikan pengalaman bermain yang memuaskan, maka mereka berisiko kehilangan pemain mereka. Sebagai hasilnya, gamers yang merasa tidak terwakili atau diabaikan dapat mencari alternatif di luar game yang ditawarkan.
Apa yang dapat di ambil adalah contoh nyata bagaimana agenda woke dan LGBTQ+ dapat mengganggu industri game. Kita berharap untuk melihat produk yang lebih baik di masa depan, yang tidak hanya memperjuangkan keragaman tetapi juga menghargai nilai-nilai dasar dari apa yang membuat game itu menyenangkan.
Dalam akhirnya, para pengembang harus lebih peka terhadap kebutuhan dan keinginan pemain. Jika mereka dapat menemukan cara untuk mengintegrasikan isu-isu sosial ke dalam game tanpa mengorbankan gameplay yang menyenangkan, mungkin kita akan melihat masa depan yang lebih cerah bagi industri game. Sementara itu Concord menjadi pelajaran berharga bahwa suatu hal yang terlalu dipaksakan itu tidak baik dan malah merusak kesenangan para gamers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H