Mohon tunggu...
Muhammad rizki Ramdhani
Muhammad rizki Ramdhani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Ingin mengenalkan hukum administrasi negara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tahanan atau Narapidana Berhadapan dengan Hukum Perdata

31 Desember 2023   14:51 Diperbarui: 31 Desember 2023   14:52 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Keywords : Prisoners, Civil Law, Marriage

  • Latar Belakang
    Tahanan adalah seorang tersangka atau terdakwa yang ditempatkan di dalam Rumah Tahanan (Rutan) sesuai peraturan menteri hukum dan hak asasi manusia Republik Indonesia No. 6 tahun 2013 tentang tata tertib lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara sedangkan narapidana adalah terpidana yang berada dalam masa menjalani pidana "hilang kemerdekaan" di lembaga pemasyarakatan. Meskipun terpidana kehilangan kemerdekaannya, di lain sisi dari keadaan narapidana ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Hilang kemerdekaan bukan dimaksud tidak memiliki hak-hak yang harus diterima oleh dirinya sebagai manusia. Kehilangan kemerdekaan salah satunya adalah adanya keterbatasan dalam melakukan suatu tindakan, baik tindakan hukum maupun yang tidak berkaitan dengan hukum.
  • Tahanan atau narapidana sama-sama memiliki hak yang dijamin oleh negara dalam rangka hal tersebut maka hak-hak itu harus benar-benar dijamin oleh negara khususnya terkait dengan keperdataannya. Pada beberapa perkara perceraian yang mendalilkan bahwa termohon atau tergugat dalam masa tahanan, majelis hakim cenderung memutus secara verstek tanpa kehadiran pihak termohon atau tergugat. Namun sejatinya dengan adanya keterbatasan akses tahanan atau narapidana yang sedang dalam binaan sehingga tidak dapat memperjuangkan hak-haknya dalam persidangan. Keluhan yang dirasakan oleh narapidana yang menjalani masa tahanan membuat kondisinya semakin tertekan dengan adanya gugatan dari pasangnya kurangnya fasilitas mau pun dasar hukum dalam memberikan hak-haknya dapat hadir dalam persidangan. Sehingga yang ditunggu hanyalah putusan pengadilan yang memutus secara verstek dan tanpa sedikitpun dapat membela haknya kecuali dapat menunjuk kuasa hukumnya. Oleh karenanya penulis mengangkat isu hukum tersebut sebagai kekosongan hukum (vacum of law) yang harus ditemukan regulasinya sehingga dapat menjamin hak-hak keperdataannya khususnya dalam rangka memperjuangkan haknya di persidangan pada perkara perdata (perceraian).
  • Pembahasan
  • Perkawinan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ajaran dan ketentuan hukum dan agama. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. bagi yang beragama Islam diatur khusus dalam Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 dalam kompilasi hukum Islam berbunyi bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan dalam konteks kenegaraan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang telah diubah dalam Undang-Undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Tujuan perkawinan sendiri untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warohmah.
  • Menjalani kehidupan rumah tangga tentunya memiliki lika liku yang dapat memicu terjadinya pertengkaran dan perselisihan sehingga dapat pula berpotensi terjadinya perceraian. Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: v (kata kerja), pisah, putus hubungan sebagai suami isteri, talak. Kemudian kata perceraian mengandung arti: n (kata benda), perpisahan, perihal bercerai (antara suami isteri), perpecahan. Adapun kata bercerai diartikan sebagai kata kerja, tidak bercampur (berhubungan, bersatu, dsb) lagi, berhenti berbini-bini (suami-isteri).
  • Istilah perceraian disebutkan dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai ketentuan fakultatif bahwa perkawinan dapat putus dikarenakan kematian, perceraian, dan atas putusan dari Pengadilan. Sehingga secara yuridis arti dari perceraian dimaknai sebagai putusnya perkawinan, yang berakibat terhadap putusnya hubungan sebagai suami isteri. Tentunya dalam hal perceraian melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam berupaya untuk menekan angka perceraian. Sehingga maksud daripada hal tersebut bahwa perceraian harus berdasarkan alasan. Sebagaimana dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa alasan yang dapat dijadikan untuk perceraian adalah:
  • Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
  • Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya
  • Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain
  • Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri
  • Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga

Sedangkan dalam Pasal 116 huruf (g) dan (h) Kompilasi Hukum Islam ditambahkan dua alasan yang dapat digunakan sebagai alasan perceraian yaitu:

  • Suami menlanggar taklik talak
  • Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga

Alasan sebagaimana disebutkan di atas bahwa harus menjadi pertimbangan Majelis Hakim pemeriksa perkara dalam mengadili perkara perceraian. Seperti alasan perceraian dalam huruf c yang berbunyi: "Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung" akan menjadi suatu sorotan yang penting dalam pertimbangan Majelis Hakim. Khususnya pada perkara dengan alasan ini banyak ketidakadilan yang terjadi. Terbukti dengan perkara perceraian dengan alasan suami atau isterinya dalam masa tahanan. Sehingga kemungkinan ketidakhadirannya dalam persidangan terjadi meskipun telah dipanggil secara sah dan patut. Sehingga oleh karena ketidakhadirannya dan tanpa mewakilkan kepad kuasanya maka Majelis Hakum akan memutus perkara tersebut secara verstek. Keterbatasan pihak Tergugat menghadiri persidangan mengakibatkan tidak terpenuhinya asas keadilan bagi tahanan atau warga binaan dalam membela hak nya dipersidangan.

Aparat penegak hukum khususnya dalam memahami sengketa perdata harus menyadari adanya kekosongan hukum (vacum of law) dalam konteks penegakan keadilan pada hukum acara perdata. Tahanan atau narapidana yang berada dalam binaan Lembaga Pemasyarakatan secara konstitusi telah dirampas kemerdekaannya sehingga secara tidak langsung kehilangan kemerdekaannya. Kehilangan kemerdekaan secara konteks konstitual dapat dimaknai sebagaimana Pasal 5 huruf (f) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan kehilangan kemerdekaan menjadi salah satu asas dalam rangka sistem pembinaan masyarakat. Pada pasal tersebut disebutkan bahwa "kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan" yang artinya Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam lingkungan dan pembinaan Lembaga Pemasyarakatan untuk dan dalam jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya (restorasi justice).

Warga binaan yang berada di Lembaga Pemasyarakatan meskipun telah kehilangan kemerdekaannya sebagaimana disebut di atas namun tetap mendapatkan hak-haknya. Hak-hak yang diperoleh seperti layaknya manusia mencakupi hak perdata yang tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga, atau rekreasi. Intinya bahwa meskipun telah dinyatakan kehilangan kemerdekaannya ada kewajiban bagi Lembaga Pemasyarakatan untuk dapat menjamin seluruh haknya terpenuhi. Hak-hak keperdataan sebagaimana penjelasan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengikat dengan hak keperdataan. Selain daripada itu, hak-hak narapidana juga dituangkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa: Narapidana berhak :

  • Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya
  • Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
  • Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
  • Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
  • Menyampaikan keluhan
  • Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang
  • Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
  • Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya
  • Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
  • Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga
  • Mendapatkan pembebasan bersyarat
  • Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan
  • Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dikaitkan dengan hak-hak narapidana tersebut di atas salah satunya adalah mendapatkan "mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku". perlu adanya perluasan makna khususnya yang mencakupi hak-hak keperdataan yang diperoleh oleh warga binaan. Khusunya pada perkara perdata yang telah didaftarkan di Pengadilan, Ketua Majelis pemeriksa perkara memiliki kewajiban untuk memanggil para pihak. Namun senyatanya pada perkara perceraian, Tergugat atau Termohon dialamatkan sesuai dengan identitas Kartu Tanda Kependudukan. Sedangkan Tergugat atau Termohon berada dalam binaan Lembaga Pemasyarakatan. Sehingga oleh karenanya Jurusita atau Jurusita Pengganti mengantarkan relaas panggilan tidak bertemu langsung dengan Tergugat atau Termohon, yang mengakibatkan pada sidang pertama Tergugat atau Termohon tidak hadir dipersidangan, meskipun panggilan telah diteruskan ke Kantor Kelurahan setempat. Oleh karenanya, ketidakhadiran Tergugat atau Termohon dan juga tidak menyuruh orang mewakilinya hadir di persidangan, maka Majelis Hakim tentu dalam pemeriksaan perkara mendasar pada Pasal 125 HIR/149 RBG dengan gugatan patut untuk dikabulkan tanpa kehadirannya (verstek) kecuali bila tenyata menurut pengadilan itu, bahwa gugatannya tidak mempunyai dasar hukum atau tidak beralasan.

Banyaknya warga binaan Lembaga Pemasyarakatan yang mengeluh dengan adanya kabar bahwa dirinya telah diceraikan oleh suami atau isterinya. Keterbatasan dalam menghadiri persidangan sangatlah menjadi bentuk kecemasan tersendiri bagi warga binaan. Bahkan hal tersebut dapat menjadikan dampak negatif terhadap psikologi warga binaan. Menerima putusan yang diluar espektasi terpidana adalah konsekuensi yang harus diterima, sedangkan ditambah dengan adanya perceraian antara suami isteri akan menambah beban berat bagi yang bersangkutan.

Tahapan pemeriksaan perkara perdata meliputi, upaya perdamaian (mediasi), pembacaan gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan, dan pembacaan putusan. Suatu narasi formiil dalam persidangan yang harus dipatuhi dan tidak dapat dielakkan. Setiap tahapan tersebut memiliki konsekuensi dan menjadi hak bagi setiap pihak yang berperkara dalam membela haknya dalam persidangan. Tahapan persidangan sebagaimana yang diatur dalam HIR atau Rbg harus mendasar pada aspek keadilan bagi tahanan atau narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan. Selain daripada hak-hak yang dijelaskan di atas, tahanan memiliki hak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan bahwa Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan berhak menerima kunjungan dari keluarga, penasihat hukum atau orang tertentu lainnya. Pada Pasal tersebut selain keluarga, maka tahanan berhak mendapatkan kunjungan dari penasihat hukum atau orang tertentu lainnya, orang tertentu lainnya dalam penjelasan pasal tersebut dimaknai antara lain : handai taulan, rohaniwan. Dalam rangka penegakan hak keadilan dan asas perlakuan yang sama dihadapan hukum (equality before the law) maka perluasan makna terhadap pasal ini perlu ditinjau ulang. Pasal tersebut memberikan peluang dalam rangka persidangan perdata yang dapat dikuasakan kepada kuasa hukum, namun sepanjang fasilitas tidak tersedia dan akses komunikasi yang terbatas, maka tidak akan memberikan solusi bagi para pencari keadilan yang statusnya sebagai tahanan atau narapidana. Maka perlu dimaknai orang tertentu salah satunya adalah pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara perdata yang sedang diproses. Tujuannya adalah memberikan akses yang seluas-luasnya namun terbatas dengan memberikan hak konstitusinya dalam persidangan.

Hak-hak lain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakata salah satunya adalah keperdataan. Pasal 52 menegaskan bahwa :

  • Hak keperdataan lainnya dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi :
  • surat menyurat dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya
  • izin keluar LAPAS dalam hal-hal luar biasa
  • Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dapat mengirim surat keluar LAPAS dan menerima surat dari luar LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
  • Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dapat diberi izin keluar LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
  • Izin ke luar LAPAS sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan oleh Kepala LAPAS

Bahwa jika secara konstitusional hak-hak tersebut telah diatur sedemikian rupa, maka tahanan atau narapidana memiliki hak yang sama dalam memperjuangkan haknya di persidangan pada perkara perdata. Proses jawab jinawab dalam persidangan perdata meskipun tahanan atau narapidana dalam binaan Lembaga Pemasyarakatan tidak menutup kemungkinan dapat dilakukan sepanjang fasilitas tersedia dan dilindungi oleh hukum. Pelaksanaan yang dapat dilakukan secara virtual maka akan memberikan kemudahan bagi tahanan atau narapidana dalam rangka memperjuangkan hak-hak keperdataannya dalam persidangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun