Tembang Lir-Ilir" adalah salah satu tembang Jawa yang sangat terkenal dan memiliki makna mendalam dalam budaya Jawa. Tembang ini mengandung pesan spiritual dan ajaran moral, serta menjadi bagian penting dari tradisi keagamaan dan kebudayaan masyarakat Jawa. Pencipta tembang Lir-ilir adalah Sunan Kalijaga, beliau merupakan ulama dan salah satu dari walisongo, Walisongo yang lain juga memiliki tembang masing-masing untuk menjadi media dakwah.
Alasan mendasar dakwah para Walisongo menggunakan media tembang adalah untuk tidak mencoba melawan arus adat istiadat yang sudah lama berkembang yaitu Hindu-Buddha, hal tersebut mencoba memberikan makna tersirat yang terkesan sederhana namun mengandung makna yang dalam di kehidupan bila dicermati. Dakwah para Walisongo tidak meninggalkan budaya dan adat istiadat di masyarakat Jawa justru adat istiadat dan budaya tersebut dimasukan nilai-nilai ajaran islam sehingga masyarakat dapat mudah dipahami dan diterima pada semua kalangan.
Pada awal mulanya Sunan Kalijaga menyebarluaskan kepada rakyat saat bersamaan mementaskan wayang purwa. Sunan Kalijaga bekerja sama dengan wali yang lain, seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Giri dalam menciptakan wayang sebagai sarana menyebarkan agama Islam. Wayang diciptakan berwujud empat tokoh Punakawan. Sunan Ampel menciptakan tokoh Semar, Sunan Bonang menciptakan Petruk, dan Sunan Giri menciptakan Gareng. Sedangkan Sunan Kalijaga sendiri menciptakan tokoh yang diberi nama Bagong. Strategi dakwah ini sesuai dengan prinsip Walisongo Ken iwake ora buthek banyune artinya menangkap ikan harus dilakukan tanpa membuat air menjadi keruh.
Filsafat inilah yang diterapkan Walisongo dalam dakwahnya begitupun Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-ilir. Sunan Kalijaga pada masa itu mencoba untuk mengajak masyarakat untuk memperbaiki kualitas moral namun upaya tersebut dikemas untuk tidak menimbulkan konflik terhadap Raja dan Nara Praja. Ajaran Islam diajarkan pelan-pelan melalui adat budaya yang ada. Syariat Islam diajarkan tanpa dikonfrontasikan dengan cara-cara beragama yang biasa dilakukan oleh orang Jawa.
Dengan runtuhnya Majapahit pada penghujung Abad ke-15 membuat kehidupan masyarakat saat itu teramat suram. Di mana-mana terjadi kerusuhan, perampokan, dan pembegalan. Korupsi merajalela sehingga ajaran agama yang telah subur kehilangan substansinya. Sehingga pada saat itu banyak Adipati yang kemudian memeluk Islam yang kemudian diikuti oleh rakyat luas terutama di Kadipaten pesisir utara Jawa. Pada awal abad ke-16 ini yang kemudian disebut oleh Sunan Kalijaga situasi yang terang dan lapang yang termaktub dalam bait
Tembang Jawa "Lir-Ilir" adalah salah satu warisan budaya yang kaya makna, melambangkan kebijaksanaan dan kearifan lokal yang telah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang. Lagu ini lebih dari sekadar sekumpulan kata-kata dan nada yang indah; ia mengandung pesan spiritual, etika, dan filosofi kehidupan yang mencerminkan nilai-nilai budaya Jawa. Asal Usul dan Makna Literal "Lir-Ilir" adalah tembang Jawa kuno yang populer di masyarakat Jawa. "Lir-Ilir" adalah onomatope dari suara tenun yang terus menerus berulang saat benang ditarik dan dipintal. Meskipun liriknya tampak sederhana, lagu ini mengandung pesan yang lebih dalam.
Simbolisme dan Makna Filosofis Keberagaman dalam Kesatuan: Lirik "Lir-Ilir, Lir-Ilir, Tandure Wis Sumilir" menggambarkan bahwa meskipun ada variasi dalam pola kehidupan dan pengalaman, semuanya akhirnya kembali ke sumber yang sama. Hal ini mencerminkan filosofi Jawa tentang harmoni dalam keberagaman, bahwa meskipun kita berbeda, kita tetap satu dalam esensi. Keseimbangan dan Harmoni: Lagu ini menggambarkan harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan. Nada-nada "Lir-Ilir" yang terus berulang seperti suara tenun mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan kita, termasuk hubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan alam.
Tembang Jawa "Lir-Ilir" tidak hanya merupakan hiburan atau kesenian semata, tetapi juga merupakan sumber inspirasi dan panduan dalam menjalani kehidupan. Melalui pesan-pesan yang dalam dan makna filosofis yang tersembunyi di dalam liriknya, lagu ini mengajarkan kita tentang harmoni, keseimbangan, ketekunan, dan nilai-nilai moral yang tetap relevan dalam dunia yang terus berubah. Tembang Lir-Ilir" adalah salah satu tembang Jawa yang sangat terkenal dan memiliki makna mendalam dalam budaya Jawa. Tembang ini mengandung pesan spiritual dan ajaran moral, serta menjadi bagian penting dari tradisi keagamaan dan kebudayaan masyarakat Jawa.
Tembang ini memiliki lirik yang penuh dengan makna filosofis dan simbolisme. Meskipun menggunakan bahasa Jawa, pesan-pesan dalam tembang ini dapat diterjemahkan secara lebih umum ke dalam konteks spiritual dan moral. Berikut adalah lirik dari "Tembang Lir-Ilir" beserta arti atau interpretasinya:
Lir-ilir lir-ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo royo
Tak sngguh tmantn anyar
Cah angon cah angon penekn blimbing kuwi
Lunyu lunyu penekn kanggo mbasuh dodot-ir (dodot sir)
Dodot-ir (dodot sir) dodot-ir (dodot sir) kumitir bdhah ing pinggir
Dondomn jlumatn kanggo seb mngko sore
Mumpung padhang rmbulane
Mumpung jmbar kalangane
Y surak surak-iy
Arti atau interpretasi dari lirik tersebut adalah sebagai berikut: (hanya sampai pada lirik Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro)
Lir ilir, lir ilir, tandure wus sumilir: Lirik ini memiliki makna yang lebih dalam dan sering diartikan sebagai perwujudan dari langkah-langkah spiritual menuju pencerahan dan kesucian. Lir Ilir" dapat diartikan sebagai perwujudan hubungan antara manusia (insan) dan Tuhan (ilah). "Lir" diartikan sebagai insan, yang berarti manusia dalam keadaan duniawi, terikat oleh berbagai aspek materi dan ego. Sedangkan "Ilir" diartikan sebagai ilah, yang menggambarkan Tuhan atau dimensi spiritual yang lebih tinggi.
Pesan ini mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan spiritualitas. Jika di terapkan dalam kehidupan nyata ketika kita sibuk dalam kerja untuk memenuhi kebutuhan di dunia, maka kita tidak boleh melupakan akan kebutuhan kita setelah meninggalkan dunia dan menuju kepada Tuhan kita. Pesan ini juga mengajarkan kita untuk seimbang antara hubungan kepada manusia dan hubungan kepada Tuhan kita.
Dan pesan ini juga mengajarkan bahwa kita menjalin keharmonisan kepada orang lain karena kita hidup di dunia berdampingan dengan berbagai suku dan agama walaupun berbeda agama dan suku kita bisa hidup dengan rukun hal tersebut sudah dicontohkan oleh walisongo yaitu salah satunya Sunan Kudus, ketika beliau berdakwah di Kudus beliau berdampingan dengan agama hindu namun beliau membuktikan bahwa dari agama islam dan hindu dapat hidup rukun dan damai, hal tersebut dibuktikan dengan intruksi dari Sunan Kudus kepada masyarakat muslim jangan menyembelih sapi dengan tujuan untuk menghormati masyarakat hindu ketika itu.
Dari penjelasan sebelumnya dapat dipahami bahwa implementasi dari perwujudan hubungan kepada manusia. Dengan hubuhan kepada Tuhan penting untuk diterapkan "Lir" dan "ilir" dianggap mewakili tingkat-tingkat pengetahuan dan kebijaksanaan yang semakin mendalam, sementara "tandure" menggambarkan perjalanan menuju tujuan spiritual.
Tak ijo royo-royo, tak senggo temanten anyar: "Tak ijo royo-royo" mengacu pada tumbuhan hijau yang tumbuh subur, merepresentasikan pertumbuhan dan perkembangan, pesan ini mengajarkan bahwa menekankan penampilan pribadi muslim yang menyenangkan, sehat jasmani dan rohaninya ". "Tak senggo temanten anyar" dapat diartikan sebagai persiapan untuk pernikahan baru. Dalam konteks ini mengacu pada penyucian diri dan kesiapan untuk menghadapi fase baru dalam kehidupan selanjutnya.
Arti kata 'cah angon'adalah 'anak gembala', sebagai simbol 'yang diperintah', yaitu manusia. Dimaksudkan manusia lebih rendah derajatnya dibanding 'Yang memerintah', yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Pesan ini mengajarkan kepada kita sebagai manusia tidak boleh sombong karena pada sejatinya manusia itu adalah hamba yang siap memenuhi perintah dari pencipta kita yaitu gusti Allah. Sebanyak apapun hartamu, apapun pangkat yang kamu miliki tetap sama derajatnya sebagai manusia yang harus memenuhi perintah dari gusti Allah.
"Penekna blimbing kuwi" artinya panjatlah (pohon) belimbing itu'. Sunan Kalijaga memilih kata 'blimbing' (belimbing), karena buah belimbing (bila dipotong) memiliki bentuk seperti bintang segilima, ini sebagai simbol lima rukun Islam, serta jumlah lima 'waktu salat'. Sesuai pada penjelasan sebelumnya bahwa kita sebagai hamba harus mengikuti perintah dari tuhan yaitu gusti Allah, apa aitu perintah nya? kanjeng Sunan kalijaga menjelaskan dalam syiir ini yaitu Penekna blimbing kuwi, hal tersebut menunjukkan pada simbol lima rukun Islam, serta jumlah lima 'waktu shlolat'
Lunyu-lunyu ya penekna, kanggo mbasuh dodot ira. Kalimat 'lunyu-lunyu ya penekna' artinya 'licin-licin ya panjatlah', maksudnya meskipun licin diperintah tetap memanjatnya. Pesan ini menunjukan bahwa meskipun berat dan sulit dalam menjalankan rukun Islam namun kita harus melaksanakannya dengan baik.
Termasuk menegakkan sholat lima waktu. Dalam melaksanakan rukun Islam harus ikhlas dan hati-hati agar tidak tergelincir. Maksud dengan licin itu adalah banyaknya godaan dari berbagai hal baik itu dari lingkungan kita ataupun dari diri kita, supaya kita tidak tergelincir kita harus mempunyai pondasi yang kuat dalam hati kita apa itu? rasa percaya kita dengan Allah dan rasa kita butuh Allah, jika ada pondasi yang kuat maka apapun rintangannya dapat dilewati. Begitu pula dalam kehidupan kita jika memiliki pondasi kuat (prinsip kuat) dalam diri kita maka tidak akan mudah untuk diombang ambing oleh godaan atau perkataan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H