Mohon tunggu...
Muhammad riyas amir
Muhammad riyas amir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tholabul Ilmi (Pelajar)

Menjadi Orang yang memberikan manfaat kepada sesama makhluk sosial (Sesama Manusia) خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ. Saling membagi pengalaman dan pengetahuan sehingga saling belajar antar satu sama yang lain

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memaknai Tembang Jawa Lir Liir Kanjeng Sunan Kalijaga dalam Kehidupan: Kedamaian, Kerukunan, Keimanan

23 Agustus 2023   13:08 Diperbarui: 23 Agustus 2023   13:52 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tembang Lir-Ilir" adalah salah satu tembang Jawa yang sangat terkenal dan memiliki makna mendalam dalam budaya Jawa. Tembang ini mengandung pesan spiritual dan ajaran moral, serta menjadi bagian penting dari tradisi keagamaan dan kebudayaan masyarakat Jawa. Pencipta tembang Lir-ilir adalah Sunan Kalijaga, beliau merupakan ulama dan salah satu dari walisongo, Walisongo yang lain juga memiliki tembang masing-masing untuk menjadi media dakwah. 

Alasan mendasar dakwah para Walisongo menggunakan media tembang adalah untuk tidak mencoba melawan arus adat istiadat yang sudah lama berkembang yaitu Hindu-Buddha, hal tersebut mencoba memberikan makna tersirat yang terkesan sederhana namun mengandung makna yang dalam di kehidupan bila dicermati. Dakwah para Walisongo tidak meninggalkan budaya dan adat istiadat di masyarakat Jawa justru adat istiadat dan budaya tersebut dimasukan nilai-nilai ajaran islam sehingga masyarakat dapat mudah dipahami dan diterima pada semua kalangan.

Pada awal mulanya Sunan Kalijaga menyebarluaskan kepada rakyat saat bersamaan mementaskan wayang purwa. Sunan Kalijaga bekerja sama dengan wali yang lain, seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Giri dalam menciptakan wayang sebagai sarana menyebarkan agama Islam. Wayang diciptakan berwujud empat tokoh Punakawan. Sunan Ampel menciptakan tokoh Semar, Sunan Bonang menciptakan Petruk, dan Sunan Giri menciptakan Gareng. Sedangkan Sunan Kalijaga sendiri menciptakan tokoh yang diberi nama Bagong. Strategi dakwah ini sesuai dengan prinsip Walisongo Ken iwake ora buthek banyune artinya menangkap ikan harus dilakukan tanpa membuat air menjadi keruh.

Filsafat inilah yang diterapkan Walisongo dalam dakwahnya begitupun Sunan Kalijaga dengan tembang Lir-ilir. Sunan Kalijaga pada masa itu mencoba untuk mengajak masyarakat untuk memperbaiki kualitas moral namun upaya tersebut dikemas untuk tidak menimbulkan konflik terhadap Raja dan Nara Praja. Ajaran Islam diajarkan pelan-pelan melalui adat budaya yang ada. Syariat Islam diajarkan tanpa dikonfrontasikan dengan cara-cara beragama yang biasa dilakukan oleh orang Jawa.

Dengan runtuhnya Majapahit pada penghujung Abad ke-15 membuat kehidupan masyarakat saat itu teramat suram. Di mana-mana terjadi kerusuhan, perampokan, dan pembegalan. Korupsi merajalela sehingga ajaran agama yang telah subur kehilangan substansinya. Sehingga pada saat itu banyak Adipati yang kemudian memeluk Islam yang kemudian diikuti oleh rakyat luas terutama di Kadipaten pesisir utara Jawa. Pada awal abad ke-16 ini yang kemudian disebut oleh Sunan Kalijaga situasi yang terang dan lapang yang termaktub dalam bait

Tembang Jawa "Lir-Ilir" adalah salah satu warisan budaya yang kaya makna, melambangkan kebijaksanaan dan kearifan lokal yang telah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang. Lagu ini lebih dari sekadar sekumpulan kata-kata dan nada yang indah; ia mengandung pesan spiritual, etika, dan filosofi kehidupan yang mencerminkan nilai-nilai budaya Jawa. Asal Usul dan Makna Literal "Lir-Ilir" adalah tembang Jawa kuno yang populer di masyarakat Jawa. "Lir-Ilir" adalah onomatope dari suara tenun yang terus menerus berulang saat benang ditarik dan dipintal. Meskipun liriknya tampak sederhana, lagu ini mengandung pesan yang lebih dalam.

Dok Pribadi
Dok Pribadi
Simbolisme dan Makna Filosofis Keberagaman dalam Kesatuan: Lirik "Lir-Ilir, Lir-Ilir, Tandure Wis Sumilir" menggambarkan bahwa meskipun ada variasi dalam pola kehidupan dan pengalaman, semuanya akhirnya kembali ke sumber yang sama. Hal ini mencerminkan filosofi Jawa tentang harmoni dalam keberagaman, bahwa meskipun kita berbeda, kita tetap satu dalam esensi. Keseimbangan dan Harmoni: Lagu ini menggambarkan harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan. Nada-nada "Lir-Ilir" yang terus berulang seperti suara tenun mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan kita, termasuk hubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan alam.

Tembang Jawa "Lir-Ilir" tidak hanya merupakan hiburan atau kesenian semata, tetapi juga merupakan sumber inspirasi dan panduan dalam menjalani kehidupan. Melalui pesan-pesan yang dalam dan makna filosofis yang tersembunyi di dalam liriknya, lagu ini mengajarkan kita tentang harmoni, keseimbangan, ketekunan, dan nilai-nilai moral yang tetap relevan dalam dunia yang terus berubah. Tembang Lir-Ilir" adalah salah satu tembang Jawa yang sangat terkenal dan memiliki makna mendalam dalam budaya Jawa. Tembang ini mengandung pesan spiritual dan ajaran moral, serta menjadi bagian penting dari tradisi keagamaan dan kebudayaan masyarakat Jawa.

Tembang ini memiliki lirik yang penuh dengan makna filosofis dan simbolisme. Meskipun menggunakan bahasa Jawa, pesan-pesan dalam tembang ini dapat diterjemahkan secara lebih umum ke dalam konteks spiritual dan moral. Berikut adalah lirik dari "Tembang Lir-Ilir" beserta arti atau interpretasinya:

Lir-ilir lir-ilir tandure wus sumilir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun