Tauhid merupakan bentuk meyakini bahwa Tuhan itu Esa. Keesaan Tuhan dapat terkonsepsi dalam dua makna. Pertama, Esa yaitu tidak ada Tuhan yang kedua. Alasannya jelas, mustahil ada dua wujud nirbatas tanpa beda sedikitpun. Dua berarti beda, tak beda berarti hanya esa. Esa dalam makna ini adalah satu person.
Kedua, satu yakni tidak terangkap. Artinya, wujud Tuhan tidak terangkap dari bagian-bagian, juga bukan bagian dari satu keseluruhan. Alasannya juga jelas, rangkapan adalah cerita tentang kebutuhan. Maha suci Tuhan dari semua kebutuhan.
Dengan ini, sifat-sifat Tuhan tidak berbeda satu dengan yang lainnya, tidak pula berbeda dengan dzat Tuhan. Ragam sifat yang berbeda secara konseptual, mewujud dengan satu wujud Tuhan secara ontologis. Tuhan, seluruh wujud-Nya adalah kuasa, mendengar, melihat, pengasih, dll. Satu dalam makna ini adalah satu sederhana.
Dua jenis Esa di atas adalah tauhid teoritis. Selain itu, terdapat tauhid praktis. Tauhid praktis adalah tauhid ibadah. Tauhid ibadah akan mewujudkan tauhid sosial, yaitu masyarakat yang bertauhid.
Tauhid ibadah adalah pegangan kita semua sebagai manusia; yaitu; tidak menyembah kecuali pada Tuhan, tidak menduakan-Nya dengan sesuatupun, serta tidak menuhankan sesama (QS 3:64). Khusus yang terakhir adalah tauhid sosial. Sesama hamba jangan saling menuhankan, jangan saling memperbudak.
Tauhid sosial dimulai dengan kata tidak pada manusia yang berlagak Tuhan, lalu ditutup dengan afirmasi pada Tuhan yang sebenarnya. Hanya ada satu kata untuk tuhan-tuhan bertulang, apatahlagi yang berkulit sawo matang, yaitu lawan.
Dalam hemat Materialisme, tauhid sosial adalah penghapusan kepemilikan personal. Kelas-kelas sosial adalah implikasi dari kepemilikan personal. Aku-kamu dimulai kala orang mendaku memiliki sesuatu yang bukan milik orang lain.
Kepemilikan personal adalah alienasi. Harta benda menggantikan manusia. Manusia dilihat dari apa yang dimilikinya, manusia diperlakukan sesuai dengan harta bendanya. Tauhid sosial adalah upaya mengganti kepemilikan personal dengan kepemilikan komunal, mengganti aku-kau menjadi kita. Itulah masyarakat tauhid, masyarakat tanpa kelas.
Dalam filsafat kita, masalah bukan pada kepemilikan personal atau komunal. Masalah bukan pada memiliki barang atau tidak, melainkan pada dimiliki barang. Milikilah sesuatu sesuai dengan upaya halal anda, tapi jangan menghamba pada sesuatu tersebut.
Dengan ini, masyarakat tauhid bukan masyarakat tanpa kelas, melainkan masyartakat tanpa eksploitasi, penindasan dan diskriminasi. Kelas-kelas sosial adalah buah dari gerak ikhtiari, ia niscaya ada, disitu ada perjuangan dan prestasi.
Dengan perbedaan, kesempurnaan diri diraih, alam terkelola. Keragaman adalah kehidupan. Dengan catatan, keragaman dan perbedaan, bukan penindasan dan pembedaan (diksriminasi).