Dulu waktu SMA, aku punya rasa iri mendalam kepada salah satu teman. Kami berteman baik tapi dari dalam hati, ada kalanya aku merasa sangat iri padanya. Penyebabnya adalah satu: dia jauh lebih sukses dariku. Setidaknya itu yang kurasakan kala itu.
Aku sudah suka menulis dari SMP, saat SMA aku mengikuti ekstrakurikuler (ekskul) majalah dinding (mading), satu-satunya ekskul di sekolahku yang mendekati kepenulisan. Sayangnya pers sekolah dan karya tulis ilmiah tidak ada di sekolahku.
Ada beberapa kisah di blog pribadiku membahas kisah di mading, memang banyak cerita menyenangkan di baliknya. Tapi di lain sisi, juga ada cerita-cerita yang kurasa menghancurkan citraku namun ini harus diceritakan karena beginilah pengalaman hidup.
Mading Hanya Tentang Dinding
Awal mula keinginan mengikuti mading adalah untuk mengasah kemampuan menulis, ekspektasiku hampir memenuhi ekspektasi karena pembimbing mading adalah guru bahasa Indonesia. Nyatanya, kebanyakan kegiatan mading hanya soal dinding.
Beberapa kontes mading yang kuikuti hanya berkutat pada kecantikan dinding mading. Tulisan di dalamnya tidak terlalu diperhatikan. Di sisi lain, kompetisi menulis jarang sekali kuketahui dari ekskul mading.
Temanku, sebut saja namanya Udin, adalah seorang penemu layaknya Da Vinci. Ia ahli dalam semua hal berkaitan dengan kesenian dan kelistrikan, sangat cocok dengan kompetisi mading. Inilah sebabnya dia selalu dibangga-banggakan tiap kali kompetisi mading diadakan. Salah satu siswa yang sering disebut sebagai pahlawan saat menang lomba mading adalah dia.
Aku hanya siswa biasa yang bisa menulis. Tulisan hanya coretan-coretan agar mading terlihat seperti majalah. Tidak ada juri yang melihat coretan itu. Semuanya hanya menilai seberapa cantik dinding.
FLS2N
Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) adalah kisah lain dengan Udin. Aku mengikuti lomba cipta puisi dan dia mengikuti lomba kriya. Aku hanya juara dua dan seperti biasa, Udin mendapatkan juara pertama di kriya. Lagi-lagi satu sekolah mengelukan namanya.
Aku merasa sudah berjuang dengan keras untuk bisa mencipta puisi terbaik yang pernah ada. Dibimbing langsung oleh guru bahasa Indonesia yang kesastraannya tidak bisa diragukan lagi. Sayang sekali lomba cipta puisi ini tidak adil. Juara satu tingkat kabupaten menyadur beragam puisi dari pujangga ternama sedangkan aku menulis berdasarkan isi kepala, hasilnya ketika di tingkat provinsi sang juara tidak bisa apa-apa.
Kalah dengan Orang Dalam
Ada kisah Terakhir tentang kekalahan, kali ini tidak dengan Udin. Saat itu seleksi perwakilan anak untuk suatu kegiatan nasional. Nilai yang ada sangat transparan, semuanya terpampang nyata. Bahkan aku punya orang dalam yang bertugas menghitung nilai para juri.
Jeda pengumuman perwakilan terpilih, orang dalamku langsung menyelamati. Saat dipanggil satu per satu perwakilan, namaku tidak kunjung dipanggil. Lagi-lagi aku kalah. Ternyata ada orang dalam yang lebih orang dalam.
Saat itu aku merasa kekalahan-kekalahan yang ada membuatku jauh dari segalanya. Aku sendirian di Tengah orang-orang yang sudah berada di puncak. Sekarang, aku sadar bahwa tiap orang punya jalan sendiri.
Target hidupku bukan menjadi sukses seperti orang, karena aku punya target sukses sendiri. Bagiku, lebih penting untuk berjalan dengan biasa-biasa saja. Rencana Tuhan pasti indah, kisah yang dia bikin kemungkinan tidak sama dengan yang ada di bayang, tapi bisa jadi jauh lebih indah dari yang bisa kita bayangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H