Oleh: Muhammad Rifqal Ilhami
Virus COVID-19 masih mewabah di Indonesia. Keganasan virus ini tidak hanya berdampak dari segi kesehatan, namun juga memukul keadaan sosial ekonomi masyarakat. Angka positif terus bertambah namun tingkat kesembuhan selalu menunjukkan persentase di titik terendah, sedangkan angka kematian terus naik ke puncak. Jika kita lihat dari segi kesehatan tentu saja pemerintah gagal dalam penanganan virus corona, namun bagaimana dengan aspek lain? Apakah penanganan pandemi dari segi perekonomian berhasil?
Nyatanya penanganan di segi perekonomian pun hampir sama seperti penanganan di segi kesehatan tidak menunjukkan adanya kabar baik, yaitu stagnan dan mengalami penurunan kualitas. Hal ini terjadi karena aktivitas perekonomian yang tersendat membuat kehidupan masyarakat di Indonesia semakin menjerit karena banyaknya karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan adanya kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Korupsi selalu menjadi masalah utama di negeri ini, tidak ada pengecualian kondisi oleh para oknum agar tidak melakukan tindakan keji pada situasi yang berat ini. Pemerintah telah mengalokasikan dana untuk membantu segi ekonomi masyarakat yang terdampak COVID-19, sebesar Rp. 405,1 triliun. Selain pemerintah pusat, pemerintah daerah juga aktif mengucurkan dana untuk penambahan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) desa. Prioritas dari bantuan ini diperuntukan bagi penanganan di bidang kesehatan, dan penanganan dampak ekonomi dengan mengupayakan dunia usaha tetap berjalan
Namun, sayangnya hal ini bisa menjadi peluang yang dimanfaatkan oleh  oknum-oknum  yang tidak bertanggung jawab melakukan penyelewengan kekuasaan, dengan cara tidak amanah dalam menyalurkan dana bantuan yang telah didistribusikan oleh pemerintah pusat.
Di Banten sendiri ada pejabat desa yang berinisial NH melakukan tindakkan korupsi, walaupun di tengah situasi yang sedang sulit ini. Hal ini terjadi di daerah Kadubereum, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang. Bendahara Desa di daerah tersebut harus berurusan dengan hukum lantaran menggelapkan uang kas desa sebesar Rp. 570 juta. Yang di dalamnya bahkan ada dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) .
Dana BLT yang digelapkan oleh NH sebesar Rp. 42 Juta, berasal dari Dana Desa (DD) yang masuk kedalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Kadubereum. Tak hanya dana BLT COVID-19, di dalam dana yang digelapkan oleh NH juga berisikan honor pegawai aparat desa hingga ketua RT dan anggaran pemerintahan desa lainnya.
Yang seharusnya, dari dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat tersebut disalurkan ke masyarakat yang terdampak COVID-19 agar segera dimanfaatkan. Kebijakan BLT akan disalurkan selama 3 bulan itu hanya dikhususkan bagi warga miskin yang di luar Jabodetabek. Sementara untuk masyarakat kurang mampu di Jabodetabek akan kebagian paket sembako dengan jumlah yang sama.
Hasil uang yang digelapkan oleh NH ia gunakan untuk kepentingan pribadi. Diantaranya ikut trading saham atau trading foreign exchange (forex). Aksi NH terbongkar ketika aparat desa tak kunjung menerima gaji pada bulan September 2020 lalu. NH akan dikenakan Pasal Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan bisa saja mendapatkan hukuman mati karena sebelumnya Ketua KPK, Filri Bahuri mengancam pelaku tindakan pidana korupsi dana penanggulangan wabah COVID-19 dengan hukuman mati.
Penerima BLT sendiri didasarkan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DKTS). Mekanisme pendataan,  penetapan penerima manfaat, dan pelaksanaan pemberian BLT Desa ini dilakukan berdasarkan ketentuan Menteri Desa PDTT.Sasaran atau penerima BLT ini adalah masyarakat yang terdampak wabah COVID-19, tetapi  belum menerima bantuan dari skema jaminan kesejahteraaan lainnya seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang sasaran atau penerimanya adalah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM).
Penyaluran dana BLT juga dipermudah melalui penyederhanaan dokumen dan penyaluran yang diupayakan lebih cepat. Kepala desa dalam penyaluran bantuan ini merupakan pihak yang bertanggung jawab atas penggunaan, penyaluran BLT Desa. Dalam program ini juga harus ada pendampingan dan pengawasan terhadap pemanfaatan BLT dana desa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun kenyataannya pemerintah gagal kembali untuk pencegahan  penyelewangan dana bantuan COVID-19 dengan adanya kasus yang dilakukan oleh NH.
Selain kasus NH, ada juga kasus RT yang meneror atau mengintimidasi warganya sendiri, karena warganya melaporkan kepada Ombudsman RI dugaan penyelewengan bantuan sosial COVID-19 dan pelapor merasa terancam. Menurut ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai intimidasi terhadap masyarakat itu dilakukan dari tingkat RT hingga pejabat kabupaten kota.
Selain di Provinsi Banten laporan intimidasi yang diterima Ombudsman terjadi juga di daerah Lampung dan Jawa tengah. Ombudsman RI telah membuka posko pengaduan COVID-19 secara online  sejak 29 April 2020. Dimana jumlah pengaduan terkait bantuan sosial (Bansos) yang paling banyak diantara yang lain, mencapai 1.242 laporan.
Maka dari itu, Amzulian Rifai berharap masyarakat tidak perlu merasa takut untuk melaporkan kepada Ombudsman RI bila terjadi penyelewangan dana Bansos, karena Ombudsman akan merahasiakan nama maupun identitas pelapor.
*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H