Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Muhammad Ridwan Tri Wibowo Mohon Tunggu... Lainnya - Pengangguran

Suka jalan kaki.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kembali ke Esensi

22 Desember 2023   23:46 Diperbarui: 22 Desember 2023   23:57 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana kita memahami eksistensi sebenarnya dalam era digital yang dipenuhi citra dan representasi? Pertanyaan ini mencuat di kepala ketika saya sedang sakit dan jauh dari perangkat digital. Dalam keadaan demam saya merenungkan pengaruh besar yang dimiliki oleh media sosial. 

Dari renungan tersebut, saya baru menyadari bahwa figur publik sering kali menjadi inspirasi dan model bagi saya untuk menjalani kehidupan ini. Entah dalam gaya hidup, penampilan, bahkan sudut pandang.

Di dalam rumah yang engap ini, keringat saya menggenang membuat muka dan punggung yang ditemplok cacar air terasa perih. Dalam keadaan ini saya teringat perkataan teman sekolah saya, "Sikap dan gaya orang sekarang, tuh, tergantung role modelnya, men." Lagi-lagi ingatan berulah! Ingatan ini mengundang pertanyaan. Apakah sebenarnya kita selama hidup dalam mimpi? 

Berdasarkan informasi We Are Social dan Hootsuite, jumlah pengguna media sosial di dunia mencapai 4,95 miliar orang pada Oktober 2023. Ini berarti sebanyak 61,4% atau lebih dari dua pertiga populasi dunia telah menggunakan media sosial. Lalu menurut laporan We Are Social pada April 2023, pengguna Instagram mencapai 2 miliar dan Tiktok mencapai 1,1 miliar.

Dari miliar orang tersebut apakah mereka juga merasakan apa yang saya rasakan? Jika iya, pertanyaan apa yang mendasari ketertarikan kita untuk meniru mereka?

Antara Realitas dan Representasi

Ternyata fenomena ini bukanlah hal baru. Saya saja yang bodoh dan kurang bacaan. Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulations menggambarkan hal ini sebagai simulakra, yaitu sebuah konstruksi imajinasi manusia atas realitas yang tidak menghadirkan esensi realitas itu sendiri. Era ini, di mana media sosial bisa menjadi media penyembahan kepada figur publik dan selebriti, simulakra menjadi pedoman kita merealisasikan dan mengaktualisasikan diri.

Mungkin kita tertatik mencerminkan citra dengan figur publik yang kita kagumi karena mereka mampu mewakili citra, yang sebenarnya kita mimpikan dan idealisasikan. Media sosial, contohnya Instagram dan TikTok dengan konten-konten yang melimpah, menjadi lahan subur bagi perwujudan mimpi dan harapan kita. Dan ini membawa kita dalam dunia simulasi yang Baudrillard gambarkan.

Kekaguman kita terhadap citra yang disajikan oleh media, membuat kita merasa hidup dalam kekacauan antara mimpi dan kenyataan. Dalam hal ini, eksistensi sejati kita mulai terabaikan karena lebih terfokus pada representasi dan citra yang kita ciptakan sebagai bayangan yang ideal.  Namun, apakah ketertarikan kita dalam meniru figur publik benar-benar murni atas keinginan untuk menciptakan citra yang ideal? Atau ini refleksi dari impian kita yang sebenarnya?

Masih adakah ruang bagi refleksi, sebuah momen untuk bertanya, "Di mana sebenarnya letak eksistensi sejati kita? Apakah eksistensi sejati kita terkubur dalam bayangan dan mimpi yang kita buat? Ataukah ada ruang untuk kembali pada esensi sejati diri, di luar dunia simulasi yang penuh dengan citra dan representasi yang kita buat?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun